Celemek Merah Muda


Menjadi manajer sebuah perusahaan swasta terbesar di Jakarta saat baru dua bulan selesai bergulat dengan pendidikan dahsyat di Amerika, mendapat apartemen gratis dari perusahaan yang letaknya sejengkal dari kantor, Porsche hitam idaman yang dulu jadi wallpaper laptop kini jadi pegangan, gaji yang sanggup membuat adikku yang norak tersedak, dan wawancara majalah yang memenuhi jadwal. Inilah hidup.
           
Mana ada pria yang lebih hebat dariku sekarang.
        
“Tutup mulutmu, sombong!” Carol, adik bungsuku menyerngit.
            
“Ini kenyataan,” kilahku.
            
“Apa peduliku?” sahutnya. “Nggak semua hal luar biasa bisa kau beli dengan uang.”
         
“Aku tahu pepatah itu. Pepatah lama yang akan terasa basi saat kau sedang kelimpahan uang. Bisa mengucapkannya dengan mudah karena kau belum merasakan apa yang bisa uang dan kedudukan lakukan dalam hidupmu.”
            
“Oh, aku tahu. Kau berusaha mengumpulkan uang untuk menarik Scarlet kembali, kan? Dia suka uang dan sangat mencintai baunya.”
            
Aku sudah menyiapkan jawaban untuk itu. “Aku nggak akan mengejar-ngejarnya lagi. Aku akan mencari wanita hebat yang karirnya menanjak, yang setiap hari berbaju rapi dan wangi dengan rambut digelung cantik, yang turun dari mobil pribadinya sambil menoleh anggun ke segala arah.”
                 
“Yang kalau di film-film selalu disorot bagian kakinya?”
            
“Tepat.”
           
“Yang bibirnya seperti bemper mobil?”
            
“Itu terdengar mengerikan.”
            
“Yang akan menolak punya anak?”
           
Kali ini aku tercenung. “Anak?”
          
“Wanita yang kau deskripsikan biasanya nggak akan mau mengorbankan karir dan tubuh semampainya hanya untuk mengandung dan melahirkan anakmu yang hidungnya pasti besar itu,” Carol menyerngit.
            
Setelah berpikir secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, otakku yang sudah keracunan Amerika dan modernisasi mendadak, langsung menolak gagasan memiliki anak. “Nggak masalah. Anak? Memangnya siapa yang menginginkan mereka? Bocah rewel yang tiap jam menangis, mengganggu waktu-waktu berdua untukku dan istriku, yang belepotan susu dan buang air sembarangan. Alangkah indahnya hidup tanpa mereka!”
           
Carol meraih gelas jusnya sambil menatap hampa ke arahku. “Kalau Mom berpikir senorak itu saat menikah, kau, aku, dan Dean nggak akan pernah lahir ke dunia ini. Memangnya kau dulu bukan bayi bau pesing yang hobinya menangis? Memangnya kau langsung jadi tua dan sombong begini?”
            
Begitu adikku yang mulutnya setajam pisau keluar pabrik itu menghilang, aku merasa jadi sekerdil jempol kaki. Gendut, bau, dan tergesek ke tanah.


Hari ini terlalu luar biasa untuk diam di rumah. Ini Minggu yang cerah, yang udaranya seakan menarik semua kesombongan untuk keluar dan menyapa dunia dengan dagu terangkat. Dan salah satu cara menikmatinya adalah dengan memarkir mobil di depan kafe favoritku, Ladybug kemudian berjalan kaki bersama tumpukan manusia kebanyakan. Dan semoga, Scarlet yang seksi-montok-tolol itu melihatku memarkir Porsche di depan Ladybug. Lalu aku bertemu dengan si wanita karir cantik idamanku, untuk kemudian berkenalan dan semua kisah cinta modern ala Amerika yang tanpa anak dimulai.
             
Tuhan, aku cinta hari ini.
            
“Zach, ada yang ingin bicara denganmu,” sahut Frans cepat begitu kuangkat telponnya. Aku yang baru saja selesai memarkir Porsche kebanggaan dan berdiri dengan sengaja selama lima menit di samping si Hitam, hanya diam saat suara seorang wanita memenuhi telinga.
            
“Zach, ini aku.”
           
Zach, ini aku. Kau itu siapa? Seakan-akan dia wanita penting yang suaranya wajib kuhapal. Oke, aku tahu ini jelas-jelas suara Scarlet. Tapi gayanya yang seakan-akan masih berstatus penting ini membuatku ingin menamparnya dengan gajiku selama sebulan.
           
“Aku nggak tahu ini siapa,” jawabku.
            
Scarlet tertawa. “Kau masih hobi bercanda!”
            
Oh bagus, yang barusan dia kira bercanda.
            
“Apa kita bisa bertemu?” tanyanya. “Aku merindukanmu.”
            
Itu terang-terangan dan membuat ngeri. “Begitu?”
            
“Jangan sedingin itu,” bujuknya.
            
“Kau nggak pernah begini saat aku masih mahasiswa biasa,”

“Tapi, sekarang kau luar biasa, kan? Kau pernah bilang kalau aku adalah wanita terluar biasa yang kau kenal. Jadi, bukankah sekarang kita serasi?”
            
Tanpa diduga-duga, semua kalimat yang kurancang untuk membelah kepala mantanku ini hangus tak bersisa. Semua tudingan balik yang kusiapkan untuk memarut muka dan harga dirinya habis tergilas kata-kata itu.

Serasi.
             
Apa barusan dia bilang serasi?
            
“Ayo, angkat tanganmu tinggi-tinggi!”
            
Aku menoleh kaget pada suara yang tiba-tiba terdengar. Suara itu berasal dari sebuah TK kecil di dekat Ladybug, sebuah TK yang sebelumnya hanya membuatku menggeleng malas mendengar teriakan anak-anak. Sementara Scarlet sibuk mengoceh tentang betapa hebatnya kami kalau kembali menjadi pasangan, aku terpaku pada sosok yang tadi mengeluarkan suara dan menyuruh muridnya mengangkat tangan.
            
Darahku seperti terhisap.
        
Dia, berdiri di tengah-tengah kumpulan bocah berisik, sedang tertawa selebar telinga pada murid-muridnya. Pipinya belepotan tepung, ada coklat di ujung bibir mungilnya. Rambut acak-acakan yang diikat ekor kuda dengan beberapa anak rambut bandel yang menjuntai ke mata. Tubuh mungil yang melompat-lompat dengan baju kotak-kotak kuning setengah betis, ditutupi celemek merah muda yang kotornya minta ampun.
            
“Ayo kalian semua, kita angkat kuenya!”
            
Demi Tuhan, dia pasti bukan manusia.
        
Aku menelan ludah susah payah sambil terus mengekor gerakannya. Dia menari-nari kecil sambil membawa loyang berisi kue warna-warni yang terlihat enak. Semua murid mengerubunginya, memeluk tubuh mungilnya dengan erat.
            
Aku terpana.
            
“Zach, apa kau mendengarkanku?” tanya Scarlet marah.
           
Aku tersenyum kecil, perasaan hangat menyeruak memenuhi hati dan kepalaku. “Maaf Scar, aku nggak bisa menemuimu lagi.”
           
“Kenapa?” protesnya.
           
“Aku buru-buru, ingin bertemu dengan seseorang. Sudah ya?”
           
“Hei, kau mau bertemu siapa?” tanya Scarlet sebal.
           
Perlahan kubuka pagar kecil yang membatasi trotoar dan halaman TK, semua murid termasuk si Ibu Guru Mungil menoleh ke arahku.
           
“Zach, siapa yang lebih penting dariku?” tanya Scarlet lagi.
     
“Calon ibu dari anak-anakku,” jawabku. Saat ponsel kumatikan, kulihat wanita itu mengelapkan tangannya terburu-buru pada celemek kemudian menyodorkan tangan padaku.
            
“Asca,” sapanya. “Anda ada perlu apa?”
         
Baru sedetik nama itu terngiang di telinga, otakku sudah mengukirnya dengan rapi. “Zachary. Well, sebenarnya aku nggak ada keperluan apa-apa. Aku hanya tertarik melihatmu dan anak-anak ini bermain.”
          
“Kau mau ikut bermain?” seorang bocah laki-laki meremas celana 300 dollar-ku dengan tangan penuh coklat. Anehnya-bodohnya, aku tak berniat teriak atau menjungkirbalikan tubuh kecilnya. Aku malah tersenyum girang.
            
“Boleh?”
            
“Boleh, kan, Bu Guru?” tanya si bocah pada Asca.
           
Hidung Asca yang kecil berkerut manis lucu saat pura-pura berpikir. “Boleh saja. Ayo kita ajak Paman Zach membuat kue!”
           
Aku tertawa saat tangan-tangan kecil itu berebut ingin menggandeng, kemudian mengikuti mereka masuk ke sebuah dapur kecil. Disana, Asca mengeluarkan seloyang lagi kue yang semanis wujudnya. Saat anak-anak itu menghambur ke arah ibu guru mereka, semua terlihat berbeda di mataku.
            
Bagaimana bisa aku ingin memiliki seorang istri yang modern dan pekerja kantoran sukses yang anti hamil dan melar sementara melihat seorang guru TK mungil yang manis dan belepotan tepung, malah membuatku berdebar-debar? Bagaimana bisa aku ingin hidup berdua dengan istriku dan menolak punya anak sementara melihat merasakan tangan kecil mereka di genggamanku saja membuatku tertawa bahagia? Aku pasti gila.
           
Kalau ini memang cinta, aku yakin telah jatuh cinta. Dengan telak.
            
“Hei Bu Guru, boleh aku datang lagi?” tanyaku saat kami menikmati kue hasil panggangan anak-anak. Asca yang sedang duduk di ayunan mengangguk.
            
“Tentu saja.”
            
“Nggak, ini bukan hanya soal bermain dan memanggang kue.”
           
Kaki Asca berhenti mengayun, matanya kini lurus menatapku.
            
Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku yang sombong ini berdoa penuh harap pada Tuhan. Doa singkat yang kuucapkan dengan cepat, diiringi jantung yang terasa akan melompat.
           
“Aku ingin menemuimu,” kataku dengan suara bergetar. “Aku serius. Pagi, siang, sore, kapanpun aku sempat aku ingin kesini dan menemuimu. Boleh, kah?”
            
Bibir kecil itu terbuka sedikit, matanya membesar perlahan. Sambil tersenyum, dia berkata, “Nggak boleh.”
            
Aku terdiam.
            
Tuhan, kenapa balasan doaku cepat sekali?!
            
“Karena,” sambungnya malu. “Aku mengajar hanya di Hari Sabtu, Minggu, Selasa, dan Kamis.”
            
Hatiku mekar. Wanita ini membiarkanku memasuki hidupnya perlahan, membolehkanku melihatnya kapanpun aku mau. Rasanya cinta tak pernah semembahagiakan dan secepat ini.
       
Tuhan, kalau memang aku memiliki masa depan bersama wanita ini, tolong buat dia mengijinkanku datang melihatnya.
            
Tuhan mengabulkan doa pertamaku, dan semoga untuk seterusnya. Persetan dengan wanita karir yang pulang pergi kantor. Aku cinta wanita bercelemek yang hobi masak. Wanita yang akan memeluk anak-anakku dengan hangat dan memberikan ciuman kecil di pipi sebelum tidur.
          
Si sombong ini satu langkah lebih dekat dengan istri idaman. Tanpa membawa ijazah lulus dari Amerika, tanpa Porsche, tanpa embel apa-apa.
              
Pada seorang wanita polos bercelemek merah muda, aku jatuh cinta.
              
Padanya, aku terpana.


---------------------------------------------------------------------------------

Baca cerita selanjutnya: Celemek Merah Muda 2
Baca semua seri Zach-Asca: Cerita-Cerita Pilihan



P.S. Cerpen ini diikutkan dalam proyek 11 Hari Ulang Tahun Nulis Buku dengan tema ‘Aku Terpana’.

6 comments:

  1. saya ingin menjadi asca yang beruntung, mempunyai lelaki kaya yang baik.

    ReplyDelete
  2. Mlm... maaf telat kasih komennya.
    Kalimat pembukanya terlalu panjang, bikin ngos-ngosan bacanya. :)

    Tapi ceritanya aku suka, keren!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha iya, saya setuju. Terima kasih masukannya! :)

      Delete