Aku harusnya mengatakan sesuatu. Ini terasa tidak benar. Kukerahkan segala logika untuk membantah kata-kata yang meluncur lancar dari mulutnya, tapi mulutku jutsru menolak berbicara. Kalimat-kalimatnya terlalu rapi, terlalu terskenario untuk dia yang sama sekali tak pandai berkata-kata. Aku bahkan sempat mengingat adegan semacam ini di semua naskah drama murahan. Kekasih yang memberi penjelasan bak orang suci, meminta maaf sambil sok menyalahkan diri sendiri. Bajingan, makiku dalam hati. Untung saraf-sarafku seperti sedang mendadak mati, kalau tidak, mungkin sudah kudorong meja ini hingga menabrak perutnya yang kotak-kotak.
"Maaf Sayang, kita putus, ya."
Keparat. Bisa-bisanya menggabungkan kata maaf, panggilan sayang, dan diakhiri dengan putus. Harusnya maaf ditaruh di belakang, atau tidak perlu pakai maaf sekalian. Terdengar seperti omong kosong. Dan panggilan sayang yang masih juga dibawa-bawa. Siapa yang sudi masih jadi kesayangan setelah dimintai putus tiba-tiba. Padahal kami, sama sekali tak ada masalah. Adem sekali. Mungkin juga terlalu adem bagi dia yang suka gejolak masa kini. Aku memang orang lama yang masih setia dan tunduk pada komitmen. Duh, brengsek.
"Sehat-sehat ya, Lhe."
Sehat kepalamu. Mana ada perempuan yang sehat setelah putus dari kekasih enam tahunnya. Wanita patah hati tak butuh sehat, dia cuma butuh kuat. Karena yang sakit dan terluka parah adalah hati. Yah, mungkin saja yang dia maksud sehat hati. Jangan terluka, jangan merengek minta kembali, jangan menjelek-jelekkan mantan kekasihmu di depan orang lain, jangan bertingkah seperti wanita hilang harap. Damn. Kenapa? Kenapa. Kenapa...
"Kamu mau aku antar pulang?"
Untuk kemudian menangis tersedu di boncengan? Memeluk punggungmu untuk yang terakhir kali, meresapi aroma tubuh yang sudah mendarahdaging sebagai perpisahan, meratapi hubungan di bawah bayang-bayang lampu jalanan? Tega sekali. Hati wanita yang dulu begitu ingin kau lindungi, sekarang kau ombang-ambing sesuka hati. Bisa-bisa aku loncat dari motor nanti. Tolol.
"Lhea, jangan diam. Kamu mau aku bagaimana?"
Ya menurutmu bagaimana. Jelaskan padaku kenapa kita harus berakhir. Jelaskan padaku kenapa kisah ini harus berakhir perpisahan, bukannya pernikahan. Dasar dungu. Sudahlah. Tenggorokanku sakit. Kau pergi saja, jangan menampakkan diri lagi. Tertabrak kereta atau menikah besok, terserah kau mau apa. Bangsat. Kenapa aku belum juga bisa berkata-kata.
"Aku pergi, ya."
Pergi yang jauh, penjahat. Penjelasanpun sudah tak berguna. Kehadiranmu saja sudah sangat membakar mata. Kalau kau tinggal lebih lama, kau akan menyaksikan siaran langsung wanita berairmata. Terluka. Tak terbayang olehmu besaran sakitnya. Tak terbayang olehmu setelah ini dia akan kehilangan arah, setengah sedih setengah marah, bingung harus melangkah. Tak terbayang olehmu setelah ini dia akan menangis entah untuk berapa lama. Berkabung dalam waktu yang tak terhitung angka, berusaha membereskan sendiri kekacauan yang kau buat.
"Jangan pergi. Jangan pergi..."
Air mataku jatuh. Setengah menyadari kalau yang barusan suaraku sendiri. Pintaku sendiri, ratapku sendiri. Aku tidak ingin dia pergi. Aku tidak tahu bagaimana caranya hidup sendiri. Tanpa dia, tanpa kehadirannya, tanpa peluk menenangkannya. Siapa yang kelak meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja, kalau dia tak lagi sudi mengemban tugasnya.
Tuhan, aku harus bagaimana.