Kerongkonganku sakit. Seperti ada yang memaksaku menelan tangkai mawar hingga rongga nafasku meradang dan terluka, hingga begitu sakit untuk sekedar menelan ludah. Aku mati-matian menahan sakit. Perutku bergejolak sementara dadaku seperti ditonjok. Aku seperti pegulat yang babak belur tapi tanpa luka-luka. Ya. Separah itu rasanya.
Kamu, dengan satu tangan terselip di saku celana linen hitam itu, menatap lurus padaku yang tergugu. Ekspresimu datar, tapi masih jelas angkuh tergurat. Kamu hancur. Terlihat jelas di matamu yang sekejap bergetar. Hanya aku yang paham, kenapa pria yang tak dibuatkan Tuhan rongga untuk menyimpan hati sepertimu bisa menampakkan rapuh semacam itu. Jangankan kamu, aku pun masih tak percaya kehadiranmu. Kamu, berdiri sekitar sepuluh langkah di depanku. Seperti hendak adu kekuatan, aku dan kamu hanya saling menatap sambil saling mencari di balik mata masing-masing.
"Kubawakan kopermu," sahutmu pelan.
Aku beringsut saat kamu meraih koper yang tergeletak begitu saja di sebelahku. Dengan tangan menggenggam erat tali tas tangan, aku menahan sebentuk sakit di dada saat bau parfum itu tercium halus dari tubuhmu.
"Kenapa kamu ada disini?" tanyaku akhirnya. Gila. Aku sendiri tak menyangka kalau aku punya cukup kekuatan untuk mengeluarkan kalimat padamu. Kamu meletakkan koper di teras kayu rumahku sambil menggeleng.
"Aku sudah janji akan menunggumu."
"Itu omong kosong. Bukankah sudah kubilang, aku sudah tidak peduli."
"Itu bukan omong kosong."
"Kau pikir aku bisa memaafkanmu begitu saja?"
"Aku tidak peduli."
"Aku masih sakit hati."
"Aku sudah bilang, aku akan menikahimu. Dan akan kulakukan."
Kepalaku berdenyut. "Tapi dulu kau pernah mengabaikanku!"
Kamu hanya diam.
"Aku mengemis dan kau tak peduli. Saat aku menginginkannya, mulut itu tidak pernah sekalipun mengeluarkan kata-kata yang kuminta. Saat aku beranjak pergi, mulut itu seenaknya bilang akan menunggu dan menikahiku. Berhenti mempermainkanku!"
"Dua tahu yang lalu, kau pergi. Dua tahun yang lalu, kubilang aku akan menunggu dan menikahimu. Sekarang, kau kembali."
"Kenapa kau selalu seenakmu? Kau pikir aku mau menikah denganmu setelah hampir seumur hidup kuhabiskan semua daya untuk membuatmu mengatakan kau sayang aku, tapi kau selalu tidak peduli. Kau bahkan menganggapku tidak ada."
"Aku sayang kau."
Kamu menatapku. Tajam dan tanpa ragu.
"Dasar munafik. Kau selalu jago soal omong besar."
Aku terkejut saat kamu tersenyum.
"Istirahatlah. Besok pagi aku akan menjemputmu dan kita akan memesan gaun."
"Jangan tolol."
"Baiklah. Aku pulang dulu."
Kamu berbalik dengan santai dan berjalan meninggalkanku.
"Aku akan pergi lagi. Kau dengar itu?"
"Kalau begitu, aku akan menunggu lagi," kamu berhenti berjalan. "Berkali-kali kau pergi, berkali-kali pula aku menanti. Di masa lalu, ikatan kita begitu rumit dan penuh tanda tanya. Sekarang, aku dan kau diberi kesempatan lagi. Tidak bisakah kau dan aku menjadikan cerita ini lebih sederhana?"
Aku terenyak. Kata-katamu memang meremas nuraniku, tapi tatapan piasmu lebih membuat nurani keras ini terluka. Kamu, persis seperti aku dua tahun yang lalu. Menyerah dan lelah. Bertekuk lutut pasrah, tapi penuh harap.
"Aku minta maaf," gumammu pelan.
Dan aku, akhirnya melihat air mata itu.
Seumur hidup menjatuhkan hati padamu, aku tahu kamu tidak akan menangisiku. Bahkan saat aku menangis dan menjerit di pundakmu, kamu hanya berdiri bisu.
Menikah denganmu adalah impian seumur hidupku. Saat aku pergi, kupikir tolol sekali pikiran semacam itu. Tapi, bukankah impian seumur hidup berarti selama aku hidup, impian itu juga akan hidup?
"Kali ini, cinta kita harus sederhana, ya?" sahutku serak.
"Sesederhananya cinta," kamu mengangguk setuju. "Dimana cinta hanya sebuah cinta."
Aku tersenyum. Mengerjap tak percaya, meyakinkan diriku kalau ini nyata.
"Sesederhananya cinta. Dimana cinta hanya sebuah cinta."