Apartemen - 06.21
"Jadi, kau dan Adrian resmi pacaran?" Moca gelayutan di sofa sambil menatapku dari balik majalah fashionnya. Rossy melotot.
"Pacaran apa?" tanyanya. "Kok, nggak ada yang memberitahuku? Kapan pria itu menyatakan cinta? Rii, bukankah kau bilang dia berotak batu dan nggak mungkin melakukan hal memalukan begitu?"
"Memalukan apa?" sergah Moca. "Ya ampun Ros, kau kan, sudah dilamar. Memangnya meminta seorang gadis menjadi kekasihnya itu memalukan? Riifa sudah tua lho! Kapan lagi sahabat kita ini akan mulai pacaran?"
Urat di keningku mencuat. "Oke, cukup kalian berdua. Pertama, aku belum setua itu. Kedua, Adrian nggak berotak batu, hatinya yang batu. Ketiga, aku nggak pacaran dengannya. Oh Moca, demi Tuhan," kuseruput kopi dengan cepat, "memangnya kapan dia memintaku jadi pacarnya?"
Moca menyerngit. "Jadi, kejutan boxer merah itu apa?"
Aku mengangkat bahu. "Itu kan, hanya karena dia nggak mau terkalahkan olehku. Lagipula, apa istimewanya meminta semua orang memakai boxer merah?"
"Sombong begitu," ejek Moca. "Padahal saat Adrian melakukannya, air matamu mengambang seperti sungai meluap yang mampet oleh sampah. Tapi matamu, mampet oleh cinta Adrian."
"Ya ampun, norak sekali," semburku. Sementara Moca dan Rossy cemberut karena tidak mendapatkan konfirmasi apa-apa dariku, aku sibuk menahan semburat malu-malu yang mendesak naik ke pipi. Aku tahu. Aku ini positif jatuh cinta pada Adrian Maha Deva. Aku telah dengan telak pasrah pada enam pertemuan aneh kami, yang satu sama lain seperti berusaha mengatakan sesuatu.
Kenapa. Kenapa aku berani-beraninya jatuh cinta pada pria yang kepalanya sekeras batu kuarsa itu. Kenapa aku bisa-bisanya terpesona padanya, padahal selain tampangnya yang ganteng dan pekerjaannya yang luar biasa, kelakuan dinginnya itu sulit ditolerir bahkan oleh aku yang cuek sekalipun. Ini cinta yang terlalu beresiko. Aku tahu, tapi pura-pura tak ingin tahu.
"Kalau kali ini aku kalah dan mati, maka matilah!" kataku mantap.
Moca menggeleng. "Nah, sahabat kita sudah mulai gila lagi,"
Kantor Dream - 17.21
"Rii, kau nggak pulang?"
Aku tersentak. Pena tinta mahal pemberian ayahku yang hobi sekali keliling Indonesia terjatuh. Sambil berusaha meraih pena yang menggelinding ke kaki meja dengan ujung sepatu, aku mengangguk pada Arya yang menyerngit menatap kelakuanku.
"Iya. Aku pulang sekarang."
"Kau aneh," kata Arya saat kami berjalan di koridor.
Beberapa pegawai melewati kami sambil berbisik dan tersenyum. Yah, gosip murahan kantor. Ada saja yang menggosipkanku dengan Arya karena kehabisan bahan gosip. Aku dan Arya. Membayangkan kami pacaran seperti dipaksa membayangkan dirimu sendiri berdiri di tepian jurang, yang di dasarnya ada Hugh Jackman dan George Clooney yang melambai dan menunggu. Menunggumu lompat. Begitulah aku dan Arya. Sekalipun mungkin, sekalipun kelihatannya menyenangkan, tapi tetap sulit dilakukan. Hampir mustahil.
"Bukankah aku memang aneh?" gumamku.
"Kau itu, bisa nggak, sekali saja gunakan kekuatan yang ada di dasar kakimu untuk mengirimkan kekuatan pada otakmu," Arya menuding kepalaku, "supaya kau nggak selalu pasrah dan seperti gadis bodoh."
"Arya, kau itu kan, malaikat nggak bersayap. Jangan bicara hal-hal menyakitkan begitu," kataku sebal. "Ini bukan apa-apa. Aku nggak sedang aneh atau menganehkan diri."
"Kau berkencan dengan Adrian Maha Deva?"
Aku hampir tersedak ludah sendiri. "Apa?"
"Ya, kan?"
"Nggak kok." Kataku. Memang tidak, kan. Yah, aku ingin, sih.
"Jadi, sedang apa dia berdiri di sana?"
Aku menahan nafas saat mataku bertemu dengan mata Adrian. Dari balik kacamata perseginya, mata pria itu menyipit, senyum kecil-yang nyaris tak terlihat-tersungging di bibirnya. Sambil melihat jam di tangannya, dia berkali-kali melihat ke arahku yang membeku.
"Dah," Arya menepuk bahuku dengan cepat dan meninggalkanku.
"Arya!"
Arya menoleh. Aku menutup mulut dengan cepat.
"Apa?" tanyanya.
Itu teriakan spontan. Semacam reaksi pertahan diri saat kau terjebak dalam situasi yang tak kau pahami dan ingin seseorang ada di sampingmu untuk memastikan semua baik-baik saja.
Arya mengerjap beberapa kali. "Apa?"
Aku menggeleng pelan dengan jantung nyaris meledak saat melirik Adrian yang berdiri di parkiran mobil. "Hati-hati di jalan,"
"Hati-hati di jalan?" Arya tergelak. "Kau yang hati-hati, Hati-nya Riifa,"
Aku tersenyum kaku. Arya keparat. Oke. Bukan hal yang aneh kalau pria peka seperti Arya tahu perasaanku pada Adrian. Arya kan, sahabatku. Dia pasti tahu sesuatu. Tapi aku malu. Aku bukan gadis usia belasan yang bisa tersipu malu saat diolok-olok bersama seorang cowok.
"Hai," sapaku saat sampai di depan mobil Adrian.
Pria itu mengangkat bahu. "Sedang apa kau di sini?"
Bibirku kesemutan. "Apa?"
"Aku tanya, sedang apa kau berdiri di sini?"
"Aku..." kugigit bibir lalu mulai berpikir cepat. Benar juga. Memangnya siapa yang bilang kalau pria ini kesini untuk menemuiku. Siapa yang meyakinkan hati tololku untuk dengan pasti melenggang menemuinya padahal-ternyata-dia ingin menemui orang lain.
Truk sampah. Aku ingin menabrakkan diri ke truk sampah.
Adrian tertawa kecil. "Mau minum kopi?"
Aku menggeleng lelah. "Jangan bercanda."
"Aku nggak bercanda."
"Sudahlah, Adrian Maha Deva. Kau tahu, ini membuatku hampir gila. Apa lagi yang kali ini kau ingin aku lakukan? Menggeret mukaku di aspal? Menggilas diriku sendiri di bawah ban Range Rover-mu?" tanyaku tak sabar.
Tuhan. Itu memalukan. Tolol dan seperti tak berharga diri. Tapi, sudah terlanjur.
"Kau ini kenapa?" tanya Adrian datar. "Aku pusing tiap kali kau mulai menyerocos tak karuan. Kau tahu, aku bingung dengan sikapmu."
"Kenapa kau harus bingung? Aku kan, bukan siapa-siapa."
"Memang."
Aku tercenung. Memang. Oh Tuhan, percapakan cepat semacam ini memang berbahaya. Apa baru saja pria jahat itu mengatakan aku memang bukan siapa-siapa? Well, ada yang mau membunuhku dengan sukarela? Aku siap.
"Kau wanita yang bukan siapa-siapa, yang sangat ingin kuajak minum kopi bersama," Adrian mengeluarkan kunci mobilnya. "Rii, bukankah harusnya kita sudah jadi teman. Kita sudah beberapa kali bertemu, jadi harusnya minum kopi bersama hal yang biasa, kan?"
Kalau memang harus mati, maka matilah!
Aku mengangguk. "Iya,"
Ladybug - 18.54
Pernahkah kau merasa dunia dalam genggamanmu, tapi dalam sekejap runtuh menimpa kepalamu tanpa ampun? Duniaku runtuh di atas kepalaku. Dan yang membangun sekaligus meruntuhkan kepingan dunia itu adalah pria yang sedang mengobrol dengan pelayan di depanku.
Aku ini kenapa. Aku ini sedang apa. Aku ini manusia macam apa.
Dibuat melayang, diterbangkan, kemudian dijatuhkan. Dan aku berharap, aku bisa bertingkah seperti tak terjadi apa-apa. Sepasang kekasih mulanya juga dari dua manusia asing yang bukan siapa-siapa. Mereka bertemu, saling menemukan ikatan, dan jadilah.
Tapi, Adrian bukan manusia. Dia batu.
"Kau pesan apa?" tanyaku kaget saat pelayan pergi. "Aku bahkan belum memesan apapun,"
"Sudah kupesankan," katanya santai.
Aku ingin membuka mulut untuk protes, tapi tawa Adrian menghentikan ocehanku. Satu hal yang paling tak ingin kuingat-ingat adalah aku sangat suka tawa pria ini. Aku selalu merindukan tawanya yang tertahan. Entah bagaimana, dia dan tawanya seperti satu kesatuan yang begitu menawan dan membuatku bertahan. Dasar cinta.
"Hei Dri, kau pasti digilai banyak wanita," kataku pelan.
Adrian menatapku. "Kata siapa?"
"Entahlah,"
"Aku nggak tahu. Dan nggak peduli. Memangnya kau peduli?"
"Bagaimana kalau aku memang peduli?"
"Nggak masalah."
Aku memutar-mutar papan nomor di meja. Aku ingat. Terakhir kali terombang-ambing dengan perasaan semacam ini saat putus dari mantan terakhirku, sekitar seabad yang lalu. Saat itu Dinasti Ming masih kaya dan berjaya dengan guci-guci mahal mereka, saat itu juga cintaku sedang mekar-mekarnya. Aku dan siapa pun pria terakhir yang sudah kulupakan itu, hanya saling menatap dalam bisu saat memutuskan untuk berpisah. Aku benci perasaan semacam ini.
"Kupikir... ada sesuatu," ucapku pelan.
Adrian hanya diam. Aku menatapnya ragu-ragu. Wajahnya datar. Bisa diartikan kalau dia tak mendengar. Atau mendengar tapi pura-pura tak mendengar.
Pesanan datang. Aku ternganga melihat isi piringku.
Pancake vanilla.
Berbentuk hati yang terbelah dua. Hanya sebelah.
"Memang terjadi sesuatu, Rii," ucap Adrian pelan.
Aku terdiam saat mataku tertumbuk pada piring Adrian.
Pancake vanilla.
Berbentuk hati yang terbelah dua. Hanya sebelah.
Aku menahan air mata saat Adrian hanya tersenyum kecil.
Jadi... memang ada apa-apa, kan?
Bersambung ke 8th Day....
"Arya!"
Arya menoleh. Aku menutup mulut dengan cepat.
"Apa?" tanyanya.
Itu teriakan spontan. Semacam reaksi pertahan diri saat kau terjebak dalam situasi yang tak kau pahami dan ingin seseorang ada di sampingmu untuk memastikan semua baik-baik saja.
Arya mengerjap beberapa kali. "Apa?"
Aku menggeleng pelan dengan jantung nyaris meledak saat melirik Adrian yang berdiri di parkiran mobil. "Hati-hati di jalan,"
"Hati-hati di jalan?" Arya tergelak. "Kau yang hati-hati, Hati-nya Riifa,"
Aku tersenyum kaku. Arya keparat. Oke. Bukan hal yang aneh kalau pria peka seperti Arya tahu perasaanku pada Adrian. Arya kan, sahabatku. Dia pasti tahu sesuatu. Tapi aku malu. Aku bukan gadis usia belasan yang bisa tersipu malu saat diolok-olok bersama seorang cowok.
"Hai," sapaku saat sampai di depan mobil Adrian.
Pria itu mengangkat bahu. "Sedang apa kau di sini?"
Bibirku kesemutan. "Apa?"
"Aku tanya, sedang apa kau berdiri di sini?"
"Aku..." kugigit bibir lalu mulai berpikir cepat. Benar juga. Memangnya siapa yang bilang kalau pria ini kesini untuk menemuiku. Siapa yang meyakinkan hati tololku untuk dengan pasti melenggang menemuinya padahal-ternyata-dia ingin menemui orang lain.
Truk sampah. Aku ingin menabrakkan diri ke truk sampah.
Adrian tertawa kecil. "Mau minum kopi?"
Aku menggeleng lelah. "Jangan bercanda."
"Aku nggak bercanda."
"Sudahlah, Adrian Maha Deva. Kau tahu, ini membuatku hampir gila. Apa lagi yang kali ini kau ingin aku lakukan? Menggeret mukaku di aspal? Menggilas diriku sendiri di bawah ban Range Rover-mu?" tanyaku tak sabar.
Tuhan. Itu memalukan. Tolol dan seperti tak berharga diri. Tapi, sudah terlanjur.
"Kau ini kenapa?" tanya Adrian datar. "Aku pusing tiap kali kau mulai menyerocos tak karuan. Kau tahu, aku bingung dengan sikapmu."
"Kenapa kau harus bingung? Aku kan, bukan siapa-siapa."
"Memang."
Aku tercenung. Memang. Oh Tuhan, percapakan cepat semacam ini memang berbahaya. Apa baru saja pria jahat itu mengatakan aku memang bukan siapa-siapa? Well, ada yang mau membunuhku dengan sukarela? Aku siap.
"Kau wanita yang bukan siapa-siapa, yang sangat ingin kuajak minum kopi bersama," Adrian mengeluarkan kunci mobilnya. "Rii, bukankah harusnya kita sudah jadi teman. Kita sudah beberapa kali bertemu, jadi harusnya minum kopi bersama hal yang biasa, kan?"
Kalau memang harus mati, maka matilah!
Aku mengangguk. "Iya,"
Ladybug - 18.54
Pernahkah kau merasa dunia dalam genggamanmu, tapi dalam sekejap runtuh menimpa kepalamu tanpa ampun? Duniaku runtuh di atas kepalaku. Dan yang membangun sekaligus meruntuhkan kepingan dunia itu adalah pria yang sedang mengobrol dengan pelayan di depanku.
Aku ini kenapa. Aku ini sedang apa. Aku ini manusia macam apa.
Dibuat melayang, diterbangkan, kemudian dijatuhkan. Dan aku berharap, aku bisa bertingkah seperti tak terjadi apa-apa. Sepasang kekasih mulanya juga dari dua manusia asing yang bukan siapa-siapa. Mereka bertemu, saling menemukan ikatan, dan jadilah.
Tapi, Adrian bukan manusia. Dia batu.
"Kau pesan apa?" tanyaku kaget saat pelayan pergi. "Aku bahkan belum memesan apapun,"
"Sudah kupesankan," katanya santai.
Aku ingin membuka mulut untuk protes, tapi tawa Adrian menghentikan ocehanku. Satu hal yang paling tak ingin kuingat-ingat adalah aku sangat suka tawa pria ini. Aku selalu merindukan tawanya yang tertahan. Entah bagaimana, dia dan tawanya seperti satu kesatuan yang begitu menawan dan membuatku bertahan. Dasar cinta.
"Hei Dri, kau pasti digilai banyak wanita," kataku pelan.
Adrian menatapku. "Kata siapa?"
"Entahlah,"
"Aku nggak tahu. Dan nggak peduli. Memangnya kau peduli?"
"Bagaimana kalau aku memang peduli?"
"Nggak masalah."
Aku memutar-mutar papan nomor di meja. Aku ingat. Terakhir kali terombang-ambing dengan perasaan semacam ini saat putus dari mantan terakhirku, sekitar seabad yang lalu. Saat itu Dinasti Ming masih kaya dan berjaya dengan guci-guci mahal mereka, saat itu juga cintaku sedang mekar-mekarnya. Aku dan siapa pun pria terakhir yang sudah kulupakan itu, hanya saling menatap dalam bisu saat memutuskan untuk berpisah. Aku benci perasaan semacam ini.
"Kupikir... ada sesuatu," ucapku pelan.
Adrian hanya diam. Aku menatapnya ragu-ragu. Wajahnya datar. Bisa diartikan kalau dia tak mendengar. Atau mendengar tapi pura-pura tak mendengar.
Pesanan datang. Aku ternganga melihat isi piringku.
Pancake vanilla.
Berbentuk hati yang terbelah dua. Hanya sebelah.
"Memang terjadi sesuatu, Rii," ucap Adrian pelan.
Aku terdiam saat mataku tertumbuk pada piring Adrian.
Pancake vanilla.
Berbentuk hati yang terbelah dua. Hanya sebelah.
Aku menahan air mata saat Adrian hanya tersenyum kecil.
Jadi... memang ada apa-apa, kan?
Bersambung ke 8th Day....
No comments:
Post a Comment