Suami

Hari ini, setelah sekian lama terpisah waktu dan jurusan, akhirnya aku bertemu lagi dengan salah satu teman terbaik di jagad pertemanan, Kak Sa. Yah, nama aslinya Safira Elfadhilah. Ceritanya, dulu kelas satu SMA kami sekelas. Karena aku merasa 'Safira' terlalu panjang, karena walaupun dia lebih muda setahun tapi kelakuannya dewasa, dan karena iseng, akhirnya aku membuat nama panggilan semena-mena itu. Kak itu kakak, Sa itu dari Safira. Dan karena kesemena-menaan itulah hampir seluruh makhluk bumi memanggilnya Kak Sa.

"Aku penasaran, siapa sih yang nanti bakal jadi suami Indah?"

Inilah salah satu pertanyaan yang berhasil ditelurkan olehnya, yang langsung membuatku sakit kepala. Suami. Yah, dia bertanya tentang suami. Sebelum membahas ini, ada baiknya kita mengambil nafas dalam-dalam.

Aku sudah berkali-kali ditanyai siapa yang kira-kira jadi suamiku. Mulai dari ekspektasi baik seperti: "Pasti cowok itu setiap hari bakal ketawa-ketawa," sampai yang keji seperti: "Tuhan, siapapun yang kelak jadi suami Indah, berilah pria itu kekuatan dan kesabaran. Masukanlah ke dalam Surga untuk membalas pengorbanannya."

Yah, omong-omong soal suami, aku tipe yang malas untuk serius membicarakannya. Kalau yang lain lebih suka membayangkan nonton berdua, makan di pinggir jalan berdua, atau belanja berdua, aku lebih suka memikirkan hal-hal sepele yang lebih asyik dan santai. Seperti taruhan bola, misalnya. Kurang lebih, hal-hal inilah yang sering kubayangkan kalau tiba-tiba pembicaraan melompat ke masa depan:


1. Taruhan bola. Yang kalah, cuci piring.
Yang satu ini pernah kubahas dengan teman dekatku dan kami geli membayangkannya. Kalau dia membayangkan makan popcorn sambil mengomentari pertandingan bersama suaminya, aku lebih suka membayangkan aku dan siapapun-itu-kelak akan saling melempar bantal kalau klub yang kami bela mencetak gol. Mungkin aku akan salto di atas karpet bulu sambil tari perut, atau apapun untuk membuatnya tahu, aku menang dan dia harus cuci piring. Ada baiknya kami habis makan besar, supaya yang kalah benar-benar tahu rasa.

2. Seret-seretan dari kasur. Yang berhasil diseret sampai pintu kamar, siram tanaman.
Untuk yang satu ini, walaupun membayangkannya asyik, sepertinya aku akan selalu jadi yang kalah. Apa dayaku menyeret pria yang mungkin saja hampir setinggi tiang gawang sampai ke depan pintu kamar. Apalagi kalau ternyata kamar kami nanti seluas lapangan futsal. Yah, tapi mengingat aku ini wanita, paling juga aku akan capek sebelum berhasil menyeretnya jatuh dari ranjang. Lalu aku akan mengeluh, meninju-ninju kakinya, mencabuti bulu kakinya sampai dia menyerah dan beranjak menyiram tanaman. Memberi makan tanaman juga harus jadi bagian bersama, kan.

3. Sahut-sahutan dengan sisa nyawa.
Karena aku ingin bergabung di perusahaan real estate dan jadi budak benda properti disana -amin-, bisa dipastikan nantinya saat pulang kerja hanya akan ada sepersepuluh nyawa yang tersisa. Dan berhubung aku pendek, jadi sisa-sisa tenaga itu menggelayut di mata kaki. Jadi, di hari-hari sibuk aku akan pulang dengan terseret-seret, membuka pintu rumah dengan tangan yang seperti tak bertulang, dan merosot di sofa ruang tamu. Beberapa menit kemudian, suamiku juga pulang. Dengan keadaan yang hampir sama parahnya, tapi sempat mengunci pintu dan menghidupkan lampu. Dia juga merosot di sofa. Kami berguling di sofa yang berhadapan, menggelayut dengan mata setengah terbuka. Terus begitu sampai terasa seperti selamanya. Sekitar lima belas menit kemudian, barulah dia mulai menyapa, "Hai, aku pulang." Dan aku akan membalas, "Ya, selamat datang."

4. Siapa yang paling tahan gatal. Yang kalah, ganti seprai kasur.
Nah, ini kedengarannya sepele sekali, kan. Mengganti seprai kasur. Apa susahnya, tapi betapa malasnya. Bagiku, pekerjaan mengganti seprai itu urutan nomor dua setelah menyetrika di antara daftar tugas ibu rumah tangga. Bukan hanya harus melepaskan seprai dari kasur, tapi juga harus melipat bedcover, melepas satu persatu sarung bantal dan guling, untuk kemudian memasangkan lagi yang baru. Aku nggak semalas itu untuk mengerjakan ini, tapi dalam keadaan tertentu mengganti seprai itu seringnya malah membuatku berguling seperti orang mati di atas bedcover dan menunda-nunda untuk mengganti dengan yang baru. Dan yah, kalau nanti sampai malasku datang dan suamiku nggak mau mengalah untuk sekedar mengganti seprai kasur, kami akan mengadakan lomba siapa yang lebih tahan gatal. Siapa yang tahan dengan seprai kucel dan bau, akan menang. Oh, itu lomba yang sedikit menjijikkan ya.

5. Lari pagi berdua.
Ehem. Ini nggak seromantis kedengarannya. Jangan bayangkan lari pagi mesra yang saling melempar tawa. Yah, bolehlah kalau sedikit melempar lelucon. Tapi berhubung aku malas olahraga, mungkin yang akan terjadi adalah suamiku, melompat-lompat heboh di depan jendela kamar yang terbuka, menyuruhku untuk ikut lari pagi bersama, melakukan pemanasan sambil berteriak mengganggu hingga akhirnya aku bangkit dan menurut. Lalu kami akan melakukan lari pagi keliling komplek. Sementara aku mengantuk dan lari seperti siput, suamiku sesegar dan sebugar ibu-ibu yang melakukan senam hamil. Ini berlaku kalau siapapun-pria-itu-kelak suka olahraga, ya. Kalau ternyata dia nggak suka olahraga, berarti kami akan menghabiskan minggu pagi dengan tidur sepanjang hari. Berdua, selamanya, seperti dua ekor sapi gelondongan.


Sepertinya masih banyak yang kupikirkan tentang aku dan suamiku kelak. Aku bukan pengikut paham menikah muda, tapi tentu saja ingin menikah. Kapanpun Tuhan bilang YA. Aku nggak akan berharap banyak tentang suamiku kelak. Tuhan tahu siapa yang terbaik, siapa yang benar-benar kubutuhkan, dan siapa yang kelak akan anak-anakku rindukan.

Dear suamiku yang masih abstrak wujudnya, sampai bertemu nanti di masa depan yang sama!


No comments:

Post a Comment