Yang Mulia-ku (1)

Aku menatapmu. Kamu sedang balik menatapku dari balik cangkir kopi yang asapnya mengepul itu. Kamu seperti menerkamku. Aku beranjak ke dapur saat adu tatap kita semakin menyesakkan.

"Kamu mau kubuatkan pancake?" tanyaku.

"Untuk apa?" tanyamu hambar.

"Kamu kan, biasanya minum kopi sambil makan pancake, Sayang,"

"Terserah."

Aku membuka bungkus pancake instan, menuang isinya di mangkuk besar kemudian mengaduk-aduknya setelah kuberi air. Wajan kupanaskan. Setelah aroma manis mentega menyeruak, adonan pancake kutuang. Air mataku mulai mengambang.

Dulu, memasak pancake adalah rutinitas kesukaanku. Kesukaanmu. Kamu membantuku mematangkan pancake. Sekalipun seringnya kamu hanya mengacau dan terus memelukku dari belakang, kita tetap membuat beberapa pancake lagi. Dan lagi. Hingga semua adonan habis, aku dan kamu kekenyangan, dan sisa pancake kamu lempar pada Coco yang menyalak kegirangan.

"Apa yang kamu lakukan?"

Kamu muncul dari balik pintu dapur, melotot kaget padaku. Aku terkesiap. Asap hitam mengepul dari wajan. Pancake gosong. Kamu merangsek ke dekatku, mematikan kompor dengan gusar, dan membuka jendela lebar-lebar. Tanpa menatapku yang hanya terdiam, kamu berlalu begitu saja.

Air mataku jatuh di wajan yang menghitam. Air mata yang langsung menguap lenyap karena panas.

"Maafkan aku," kataku sambil duduk di sebelahmu.

"Untuk kesalahan yang mana?" tanyamu.

"Terserah, kamu mengartikannya yang mana,"

Aku melirikmu. Rahangmu yang tegas itu membuatku terenyuh. Kamu sudah lama nggak bercukur. Rahang yang dulu sering menggelitik pipiku. Aku pernah bilang padamu kalau kamu mati duluan, aku mau mengawetkan kepalamu agar bisa memandangi rahangmu. Dan rahang itu kini mengeras, seperti menahan emosi yang nggak tersalur.

"Itu bukan salahmu,"

"Lalu, kenapa kamu terus-terusan marah padaku?"

"Aku gak marah. Aku hanya sedang gak mau bicara. Itu berbeda."

Aku menunduk. Pundakku bergetar, terisak tangis. Kamu merangkul pinggangku, memeluknya dengan rapat. Aku bersandar pada dadamu yang hangat. Aroma tubuhmu memenuhi hidungku, aku membenamkan hidung di lehermu. Kita saling mendekap. Dan kamu mulai ikut terisak.

"Maaf, Anda keguguran. Bayi Anda sudah meninggal di dalam perut."

Aku memejamkan mata dan mencoba tidur. Semoga tidur selamanya.


No comments:

Post a Comment