Yang Mulia-ku (3)

Kamu masih nggak bersuara. Aku masih pura-pura belum terjaga. Wajahmu terang ditimpa cahaya laptop, satu-satunya yang bersinar di antara kamar yang temaram. Aku membuka mata lebar mengamatimu, tanpa takut kamu tahu kalau aku sudah bangun.

Aku menarik selimut. Kamu mengetik dengan khusuk.

Kamu bergerak tanpa ekspresi. Dengan headset di telinga dan musik-yang aku tahu-pasti bervolume besar, kamu bersandar di sofa panjang dengan mata yang jarang sekali berkedip. Sekali lihat, orang yang baru kenal kamu pun pasti tahu kalau kamu kuat. Kamu pria hebat.

Sampai ada masalah ini, kamu tetap berdiri tegap.

Sementara aku menangis dan terenyak dalam duka, kamu menatap ke depan dengan hampa. Sementara aku lemah dan meratapi semua, kamu seperti nggak terluka. Aku senang. Kamu memang selalu bisa diandalkan dan jadi sumber kekuatan. Tapi Sayang, bisakah kamu bicara sepatah saja? Sejak saat itu, kamu nggak berkata apa-apa. 

Kamu bahkan seperti nggak mengenalku. Kita seperti orang asing di rumah sendiri.

Sayang, sikapmu itu, apa karena kamu menyalahkanku? Apa karena kamu kecewa atas ketidakberdayaanku? Apa kamu sulit menerima kenyataan dan muak melihatku?

Atau, kamu bahkan nggak merasakan lukaku?

Sayang, ini terlalu berat buatku.

Saat kulihat kamu menyingkirkan laptop dari pangkuanmu, aku kembali menatapmu. Dan mendadak, aku sesak nafas. Aku melihat kamu duduk dengan tangan tergenggam. 

Kamu menangis.

Aku terdiam di balik selimut. Mataku terasa panas untuk merasakan genangan air mata yang merangkak naik. Aku menatapmu lagi. Kali ini tangismu menghebat, hingga kamu mati-matian menahan agar suara isakan itu nggak keluar dan terdengar.

Dan aku, terisak di balik selimut melihatmu.

Kamu, suamiku yang kupikir kuat itu, sedang berada di puncak lelahmu. Semua perih dan kehilangan itu kini membuatmu kalah. Membuat tembok pertahananmu runtuh. Kamu menangis seperti anak kecil yang ibunya baru saja meninggal. Rapuh, kecil, dan nggak berdaya.

Aku menarik selimut sampai ke kepala. Terlalu takut melihatmu terlalu jauh terluka.

"Maaf ya, Sayang," bisikku.

Kabar buruk pagi tadi bukan kuasa dan kehendakku. Termasuk anak kita yang gugur itu.

No comments:

Post a Comment