Yang Mulia-ku (2)

Aku menggelayut manja di pinggiran sofa. Tanganku menarik-narik blus birumu, merengek seperti seorang bocah yang minta dibelikan permen kapas. Kamu hanya tersenyum sambil bermanufer melewatiku dan lari ke dapur untuk membuat pancake.

"Kamu mau pancake rasa apa?" tanyamu nyaring.

"Vanilla," jawabku.

Aku menatapmu. Kamu memang cantik ya, Istriku. Kenapa kamu secantik itu. Kenapa kamu mau menikah denganku. Aku tahu, kamu bilang aku pria terganteng dalam hidupmu. Tapi rasanya kamu lebih cinta rahangku ketimbang aku.

"Sayang, kenapa kamu mau menikah denganku?" sahutku.

"Jangan bercanda, ah." Katamu.

"Aku gak bercanda, kok."

"Eeemm kenapa, ya?" kudengar kamu bergumam. "Karena kamu itu pria terganteng yang kukenal. Dan karena kamu punya ciuman yang manis."

Aku merengut. "Oh, jadi cuma itu. Aku ini seperti menjual fisik?"

"Jangan ngambek ah," bujukmu sambil menyodorkan pancake dengan es krim vanilla yang lumer ke depan hidungku. "Ini, Cowok ganteng."

Aku tertawa. "Kalau aku kecelakaan dan mukaku hancur, kamu masih mau jadi istriku?"

"Nanti kupikirkan," candamu.

"Ya ampun, berarti aku harus cepat menurunkan gen ganteng ini pada anak kita, ya. Sayang kan, kalau dibawa mati olehku."

Kamu tesenyum. Tangan putihmu memelukku dari belakang lalu mengecup sudut bibirku yang belepotan es krim. "Sebenernya... sudah ada yang menuruni gen itu,"

Aku terkesiap. Aku memutar badan dengan cepat, menatap kamu yang tersenyum penuh misteri. Matamu turun, menunjuk-nunjuk ke arah perut.

"Cepat lahir, Bayi ganteng!" teriakku. Kamu tertawa geli.

Aku dan kamu. Saat itu. Tenggelam dalam bahagia itu. Sama sekali buta pada takdir-Mu.

No comments:

Post a Comment