Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih sendiri
masih belum berpegangan tangan
masih sering dan hobi berselisih jalan
Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih begini
masih belum menyadari benar arti hidup
masih suka mengegokan jantung yang berdegup
Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih beda lini
masih belum tahu harus bagaimana
masih tidak mengerti sepenuhnya tentang rasa
Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih kurang arti
masih belum terbangun dari galau hujan
masih gagal menghadapi ujian
Sayang,
ini penghujung tahun, kan? Mari berpelukan.
Siapa yang Kamu Cari?
Alihkan pikiranmu sejenak dari masa depan, kini kuajak kamu menengok lagi ke belakang. Tidak untuk merutuki masa lalu, aku ingin mengajakmu melihat lagi apa-apa yang sudah kamu tinggalkan, siapa-siapa yang sudah kau buang. Ah, biarkan aku menarik nafas dalam terlebih dulu.
Aku hanya teringat ungkapan yang mengatakan kalau kita tidak bisa meraup semua yang diinginkan dalam genggaman tangan. Harus ada yang dilepaskan untuk mengambil yang lain. Kita tidak mungkin memeluk dua bahkan tiga orang dengan nyaman tanpa melepas yang tak terangkul. Harus ada yang berkorban, harus ada yang keluar dari lingkaran. Mirisnya, beberapa orang dan kenangan, pergi karena kita abaikan. Mereka tercabut seperti selenyap kabut. Entah karena kita terlalu rakus akan perhatian hingga terlalu sibuk lalu mereka tak dapat hirauan, atau karena mereka yang cukup tahu diri untuk tiba-tiba menghilang. Dan seperti yang sudah-sudah, saat itulah kehadiran mereka terasa nyata.
Kamu, ingin seseorang menemanimu di tepian dermaga. Mendengar semua celotehmu, menyiapkan bahunya untuk kepalamu. Kamu sibuk mencari, merutuki diri. Dimana kiranya seseorang itu berada, dimana kamu dapat menemukannya hingga kalian bisa berbagi bersama. Kamu tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu, bahwa ada seseorang, ada beberapa orang yang bahkan berenang di tepian dermaga menantimu. Menunggumu menyambut tangannya, tangan mereka. Melambai padamu, berharap kamu paham kalau sejatinya mereka selalu ada. Sayang kamu malah terlalu sibuk mencari, entah apalagi yang kamu cari.
Mungkin, karena itulah kamu lelah.
Ada baiknya kamu istirahat, sekadar untuk melihat bahwa di sekelilingmu banyak yang siap memberi pelukan erat. Mungkin yang kamu tunggu bukan pria tinggi, putih, dan berkacamata, bisa jadi dia ternyata berantakan tapi bertingkah seperti pangeran. Mungkin yang kamu tunggu bukan wanita berambut panjang dan berkaki jenjang, bisa jadi dia ternyata berambut mangkuk dengan senyum bak malaikat.
Ada baiknya kamu berhenti, sekadar untuk mensyukuri saat ini.
Karena bagaimanapun, orang-orang yang ada saat ini, adalah yang bertahan atasmu. Selalu.
Air Mata
Pikirkan, apakah air mata bisa mengering?
Kalau air mata tidak bisa mengering, kenapa kini tiap kali hujan aku tidak lagi meneteskan butiran hangat itu untukmu. Kenapa tiap kali jendela kamarku berembun karna rintikan, air mataku tidak ikut turun meramaikan. Kenapa tiap kali terdengar suara hujan yang berisik, hati dan mataku tidak lagi terusik. Kenapa tiap kali kupaksakan diriku mengingatmu sekadar memancing air mata, aku malah tak dapat apa-apa.
Ada apa?
Begitulah adanya. Kau menyimpulkan aku mati rasa, kupikir aku hanya sedang tak ingin merasa. Kalau dulu hujan begitu terasa seperti "kita", kini hujan hanya tetesan air dari semesta. Yang kuharap, saat basahnya meresapi kulitmu, kau tahu disitu aku selalu ada. Serpihan aku yang selalu terbawa, tapi kini tanpa air mata.
Kutapaki jalan yang dingin, kakiku ngilu tapi tak terluka. Rasanya sakit hingga ke tulang, rasanya perih tak tertahan. Terlebih saat sekali lagi, aku sadar sakitnya bahkan tak membuatku berairmata. Rasanya remuk tapi aku tak berdaya, bahkan untuk sekadar bilang kalau aku ingin menangis saja, aku terbata-bata.
Aku lelah. Aku kalah.
Air mata tidak bisa mengering, Sayang. Mungkin kini giliranmu berairmata.
Rindu Pan-dora
Hai! Hai! Hai!
Nggak tahu harus bilang apa, nggak tahu harus menulis apa setelah sekian lama nggak bisa bersua dengan halaman penting ini. Kalau-kalau ada yang merindukan postingan baru, percaya, aku jauh lebih rindu menulis disini. Semoga nggak lama lagi, jadwal postingan kembali normal. Ini juga lagi meminjam laptop teman, waktunya lima menit. Hahaha.
Nih, salah satu kutipan dari Nathan Callaghan, tokoh novel baruku.
"Cinta itu tidak menuntut? Bagaimana bisa cinta tidak menuntut? Tentu saja cinta menuntut. Memangnya siapa yang tidak mau dipeluk di pagi hari, menikmati senyum seseorang yang paling dicintai?"
Dah. Sampai ketemu lagi! Aku kangen menulis bebas disini.
Kenapa Harus Kamu
"Dari sekian banyak wanita, kenapa aku?"
Dari sekian banyak pertanyaan, kenapa harus itu yang kauajukan?
Pikirkan lagi, calon istriku.
Memangnya siapa aku. Pemuda berkaus oblong dengan jeans bolong yang
kerjanya lalu lalang di depan kelasmu saat kita masih satu jurusan.
Senior yang kerjanya mengamatimu dengan malu-malu dari balik kepulan
asap rokok di selipan bibir yang menghitam. Kamu saat itu, tak lebih
dari sekadar mimpi terlampau muluk buatku. Memacari terlebih
memperistri? Mana berani aku yang pesimis ini membayangkannya. Tiap kali
kamu mengangguk lalu membalas semua sapaan basa-basi itu, dalam hati
aku yang jarang sekali menyapa Tuhan, selalu berdoa supaya pendampingmu
kelak adalah pria yang tanpa ragu menegakkan dagumu yang lebih banyak
menunduk ketimbang menatap lurus ke depan. Saat itu kupikir, kalau saja
diberi kesempatan untuk menegakkan dagu mungil itu, aku berjanji akan
berhenti merokok. Toh, ketergantunganku telah berubah arah.
Kenapa harus kamu. Seperti lirik
yang menemukan nada tepat, seperti itulah aku menemukanmu sekejap kilat.
Buncahan yang tiba-tiba menyembur ke seluruh wajah lalu debar
mengganggu yang candu. Aku tahu kamu nada dan melodi yang tepat, aku
tahu kamu akhir dari semua doa yang tertambat.
Jadi, masihkah kamu bertanya kenapa harus kamu?
Inspirasi dari Stereo Hearts - Gym Class Heroes feat Adam Levine
Untuk proyek #30HariLagukuBercerita @PosCinta (hari keempat)
Kembali pada Cinta
Kepada Kamu,
Sebelum memulai surat singkat ini, kalau bisa, aku ingin terlebih dulu menyeka titik keringat kecil di keningmu kemudian bertanya, lelahkah kamu terus-menerus kujejali dengan kata-kata macam ini. Dimanapun, aku menulis sesuatu yang terucap dengan label "Kamu" semauku. Kamu, meski masih juga belum jelas, masih jadi subjek favorit untuk memulai cerita. Tetap jadi hal terbaik untuk memulai hari di permulaan pagi.
Hidup ini singkat, Sayang. Banyak "tahu-tahu" di dalamnya. Tahu-tahu kita bertumbuh, tahu-tahu kuliah, tahu-tahu bekerja, tahu-tahu menikah lalu punya anak. Tahu-tahu usia bertambah dan usia sampai pada penghabisaannya. Di sela waktu yang sedang berjalan ini, pernahkah kamu memikirkan aku? Mulai dari yang sepele seperti mereka-reka wajahku, hingga bertanya-tanya apakah aku bisa jadi ibu yang baik untuk anak-anakmu. Aku banyak memikirkanmu, bahkan saat menulis surat ini.
Aku ingin menghabiskan bertahun-tahun ke depan bersama kamu.
Semoga tidak terlalu muluk. Permintaan sederhana dengan harapan yang besarnya tak hingga. Aku tidak kesepian, tapi tak juga merasa lengkap. Memangnya, wanita mana yang tidak ingin ada bahu siaga untuk meredam suara tangisnya. Memangnya, wanita mana yang tidak ingin masuk dalam peluk hangat saat hidup terasa begitu sulit ditapaki. Memangnya, wanita mana yang tidak ingin menatap wajah yang dicintainya dalam keadaan tidur dengan perasaan penuh syukur.
Aku ingin. Selalu ingin. Menghabiskan itu semua bersamamu.
Cinta kadang begitu mencekam, Sayang. Bila tak hati-hati, kau bisa remuk redam. Tapi, bukan aku namanya bila tak optimis, terlebih ini soal dengan siapa kelak akan menghabiskan hidup. Aku ingin kamu yang mengerti bahasa mata meski tanpa berkata-kata. Aku ingin kamu selalu bisa membaca semua bahkan tanpa lebih dulu bertanya. Aku ingin kamu pendebat hati hebat, bukan pendebat mulut yang bejat.
Aku yakin. Kamu ada di ujung jalan sana, berdiri dengan senyum selebar telinga.
Tolong hapus semua awan hitam di kepalaku, Sayang. Tolong bebaskan aku dari semua kekeraskepalaan yang menjerat terlalu erat. Tolong ingatkan aku bahwa hidup adalah seindah-indahnya waktu bersama seseorang yang kusayang. Tolong cepatlah datang, lalu jangan pernah pergi lagi.
Tunjukkan lagi padaku, cara kembali pada cinta.
"Dan jika kubuka hati ini lagi, kuharap kau ada di akhir cerita untukku."
Inspirasi: Way Back Into Love (Ost. Music Lyrics) - Hugh Grant & Drew Barrymore
Untuk proyek #30HariLagukuBercerita @PosCinta (hari pertama)
Inspirasi: Way Back Into Love (Ost. Music Lyrics) - Hugh Grant & Drew Barrymore
Untuk proyek #30HariLagukuBercerita @PosCinta (hari pertama)
Surat Cinta untuk Bosse Tercinta
Teruntuk Bosse,
Ah, kamu. Baru menulis kalimat pembuka saja pipiku sudah bersemu. Kenapa masih bertanya, padahal satu-satunya alasan rona merah jambu hanya kamu? Dan bersama dengan surat ini, aku menitipkan cinta dan harapan yang besar. Terlalu muluk memintamu mengabulkannya, jadi aku hanya ingin kamu membaca dan memahami bahwa di tiap titik yang mengakhiri kalimat ini, aku tertawa penuh harap bahagia.
Duhai @PosCinta, sudah dua kali aku mengikutsertakan surat cinta di #30HariMenulisSuratCinta. Satu surat rindu untuk dua sahabat masa kecilku, satu surat terima kasih untuk salah satu teman terdekatku. Kalau mereka saja bisa terharu kemudian menangis membaca sayangku yang dirajut huruf, kenapa tak kau izinkan aku menulis surat untukmu juga? Aku tidak semahir itu menulis, tapi aku yakin mahir dalam mengungkapkan sayang dalam bentuk tulisan. Untukmu. Bersama, kita akan menyatukan lebih banyak hati dan melebur dalam cinta. Membawa mereka berdansa bersama.
Rasanya tidak perlu banyak berkata-kata. Cintaku terlalu panjang untuk dibeberkan begitu saja. Kalau kamu bersedia, jadikan aku Tukang Pos-mu dan akan kutunjukkan isi dunia.
"Kamu itu simpul mati dalam ikatan. Titik akhir sebuah harapan."
Ayo memejam, aku menerbangkan doa untukmu dari kamar kost yang temaram.
Bandung, 27 Agustus 2012
Pengagummu, @IndahArifallah
Wawancara Adrian & Riifa
Pertanyaan 1: Sudah berapa
lama kalian menjadi sepasang kekasih?
Riifa: 3 tahun 4 bulan.
Adrian: 3 tahunan, sepertinya.
Pertanyaan 2: Siapa yang
menyatakan cinta terlebih dulu?
Riifa: Adrian. Setelah membuat
cemas setengah mati, tentunya.
Adrian: Apa aku sungguh harus
menjawab pertanyaan itu?
Pertanyaan 3: Apa ini cinta
pada pandangan pertama?
Riifa: Kurasa. Tapi lebih
tepat kalau disebut cinta kebetulan.
Adrian: Rasanya tidak. Tapi,
mungkin juga.
Pertanyaan 4: Apa yang kau
suka dari pasanganmu?
Riifa: Semua.
Adrian: ... semua.
Pertanyaan 5: Berencana menikah?
Riifa: Jangan tanya.
Adrian: Bukan urusanmu.
Pertanyaan untuk Riifa: Kenapa kau bisa tahan menghadapi kesibukan Adrian?
Riifa: Konsekuensi memacari robot.
Adrian: .....
Pertanyaan untuk Riifa: Apa yang kau benci dari Adrian?
Riifa: Banyak. Memangnya nggak kelihatan?
Adrian: Bisa kau hentikan pertanyaan semacam itu?
Pertanyaan untuk Adrian: Kenapa kau memilih Riifa?
Adrian: Bukan urusanmu. Sungguh, itu bukan urusanmu.
Riifa: Demi Tuhan, Dri.
Pertanyaan untuk Adrian: Kapan kau akan melamar Riifa?
Adrian: Pertemukan aku dengan bosmu!
Riifa: Aku bos dia, Dri.
Adrian: Apa? Oh, iya. Kalian satu kantor.
Riifa: ....
Pertanyaan untuk Riifa: Apa Adrian pria idamanmu?
Riifa: Hampir.
Adrian: Hah?
Pertanyaan untuk Adrian: Apa Riifa wanita idamanmu?
Adrian: Idaman itu bualan. Sebagai seorang wanita, dia luar biasa.
Riifa: Aku boleh menangis, nggak?
Pertanyaan terakhir: Apa arti pasangan kalian?
Riifa: Dia simpul mati yang menutup ikatan.
Adrian: Dia ibu untuk anak-anakku di masa depan.
---
Selamat Hari Lahir, Ibuk!
Hahaha. Halo, Ibuk.
Harus dimulai darimana surat ucapan ini kalau bukan tawa karena beberapa menit yang lalu kita masih menertawakan hal nggak penting. Satu hal yang masih jadi hobi bersama, cekikikan pada hal-hal tolol yang hanya dimengerti berdua. Dan saat surat ini diketik dalam remang kamar, Ibuk sedang mendengarkan radio dari ponsel. Aku sedang ditenggelamkan laptop dan playlist yang menggelegar di telinga. Mana Ibuk tahu aku sedang menulis surat ini.
Akhirnya 10 Agustus! Omong-omong, sudah 42 tahun ya. Aku nggak akan menanyakan apa rasanya sudah berumur 42 tahun sejauh ini seperti yang kutanyakan pada Ayah. Ibuk pintar berfilosofi tapi malas basa-basi. Aku tak akan menemukan jawaban pasti, itu sudah pasti. Satu yang kutahu, satu persatu cita-citamu sudah terpenuhi. Nafas dan langkahmu mulai melega, makin ringan terasa. Aku tahu. Bahagia rasanya. Jadi sulung dari empat bersaudara membuat otak berpikir lebih keras, yang mungkin tidak memberi pengaruh, tapi cukup membuatku tahu bahwa-seperti yang kukatakan pada Ayah-bahwa hidup memang keras. Ragu-ragu melangkah maka kau akan terlindas.
Banyak sekali pelajaran selama ini. Suara Ibuk yang rendah dan halus, yang terkenal seantero teman-teman, tak bosan-bosan memberi nasihat. Entah bagaimana caranya, Ibuk yang kemayu dan lemah lembut bisa punya anak perempuan yang serampangan dan keras kepala. Sifat-sifat khas wanita yang mestinya diturunkan ke satu-satunya anak perempuan, malah seperti menguap begitu saja. Entah kemana. Tinggal aku si sulung yang minim naluri keibuan berdiri dengan kepala sekeras batu kuarsa. Tapi hei, aku dapat satu ciri khasmu, Buk. Aku anak rumahan. Mungkin karena terlahir sebagai introvert alami, aku jadi betah di rumah dan cinta kamar. Sangat cinta kamar sampai saat stres bukannya jalan-jalan, aku lebih senang berdiam diri di kamarku sendiri, dengan segala tetek bengeknya sampai keadaan membaik. Di masa-masa tersulitpun, aku ingat hanya ada Ibuk dan kamar. Ibuk yang menghibur dan aku yang nggak beranjak dari kamar. Ah, aku sudah melewatinya. Aku sudah hidup. Lagi. Karna Ibuk, kan?
Sebagai satu-satunya wanita di rumah, hanya Ibuk yang kupunya untuk berbagi cerita. Banyak prinsip yang kuamini dalam hati, banyak yang sudah terbukti. Salah satu yang paling kusuka: pada akhirnya kita hanya akan bergantung pada diri sendiri. Kalau bisa kuteriakkan ke langit, maka kalimat itu akan kumuntahkan selega-leganya suara. Ibuk benar. Tidak ada yang benar-benar akan menopang selain Tuhan dan diri sendiri. Pada akhirnya, teman terbaik adalah diri sendiri. Pada akhirnya, musuh terbaik adalah diri sendiri. Hanya ada aku dan diri sendiri. Aku tahu. Sudah kuyakini dalam hati sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan aku tahu itu benar. Terima kasih sudah menanamkan hal sehakiki itu, Buk.
Ah, akhirnya kita sampai pada bagian terima kasih. Cih. Bagian yang klisenya setengah mati. Mudah bagiku sekadar menulis terima kasih blablabla kemudian surat ini selesai. Padahal kenyataannya, kapan aku pernah begitu mudah mengangsurkan terima kasih. Dan, maaf. Satu kata itu bahkan lebih parah posisinya ketimbang terima kasih. Sesukaku saja menuliskan terima kasih dan maaf. Kenyataannya, ah, titik dua garis lurus untuk nyaliku. Hahaha. Aku akan memberitahumu kalau surat ini ada di blog, jadi nanti Ibuk bisa diam-diam membacanya seperti yang dilakukan Ayah kemarin. Dan tinggal aku terjebak dalam sipu.
Ibuk, terima kasih. Atas semuanya. Atas nyawa, hidup, dan usia. Atas pengorbanan yang pasti tak akan terbayar hingga akhir dunia, atas sakit hati yang selalu dibungkus tawa, atas dosa-dosa yang langsung termaafkan bahkan sebelum sempat dilupakan. Atas semua waktu yang semoga tak tersia-sia, atas semua darah dan air mata yang tak terhingga. Tak lagi terukur harga. Semoga Ibuk selalu bahagia. Aku yakin, Ibuk salah satu kesayangan Tuhan. Amin.
Tuhan, terima kasih sudah menciptakan beliau. Terima kasih.
Ibuk, selamat hari lahir.
Kakak sayang Ibuk. Selalu, selamanya.
Kamu Mau?
Kalau sekarang aku menyatakan cinta, kamu mau?
Kalau sekarang aku menghambur ke pelukanmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku menyuguhkan kopi hangat, kamu mau?
Kalau sekarang aku memanaskan air untuk berendam, kamu mau?
Kalau sekarang aku mencuci menyetrika bajumu, kamu mau?
Kalau sekarang aku merapikan tempat tidur kucelmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku mengingatkan letak kunci mobilmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku mondar-mandir mengepel rumahmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku membetulkan letak kacamatamu, kamu mau?
Kalau sekarang aku meringkuk di sampingmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku membuatmu sebal karena mengganti channel, kamu mau?
Kalau sekarang aku menelponmu mengingatkan makan siang, kamu mau?
Kalau sekarang aku meraung lalu memukulmu dengan marah, kamu mau?
Kalau sekarang aku menertawakan kelakuan konyolmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku memelukmu dari belakang, kamu mau?
Kalau sekarang aku melompat girang karena hamil, kamu mau?
Kalau sekarang aku membacakan dongeng pada anak-anakmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku menyuruhmu menunggu dan diam dalam sabar, kamu mau?
Kalau sekarang aku menghambur ke pelukanmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku menyuguhkan kopi hangat, kamu mau?
Kalau sekarang aku memanaskan air untuk berendam, kamu mau?
Kalau sekarang aku mencuci menyetrika bajumu, kamu mau?
Kalau sekarang aku merapikan tempat tidur kucelmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku mengingatkan letak kunci mobilmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku mondar-mandir mengepel rumahmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku membetulkan letak kacamatamu, kamu mau?
Kalau sekarang aku meringkuk di sampingmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku membuatmu sebal karena mengganti channel, kamu mau?
Kalau sekarang aku menelponmu mengingatkan makan siang, kamu mau?
Kalau sekarang aku meraung lalu memukulmu dengan marah, kamu mau?
Kalau sekarang aku menertawakan kelakuan konyolmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku memelukmu dari belakang, kamu mau?
Kalau sekarang aku melompat girang karena hamil, kamu mau?
Kalau sekarang aku membacakan dongeng pada anak-anakmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku menyuruhmu menunggu dan diam dalam sabar, kamu mau?
Selamat 4 Agustus!
Ah, kamu.
Akhirnya menanggalkan usia 20 tahun yang penuh perjuangan dan menyambut usia 21 tahun dengan penuh kemenangan. Selamat memenangkan diri sendiri! Bahagiakah kamu? Pasti. Rasanya tidak pernah sebahagia dan sebersyukur ini. Ada titik dimana usia mendadak jadi bahan pembelajaran, dan titik ini ingin kujadikan salah satu bahan tertawaan. Menertawakan umur? Tentu saja bukan. Aku menertawakan semua yang sudah terjadi hingga sampai di usia ini. Di titik ini. Di bahagia ini. Bukankah saat kita berhasil menertawakan diri sendiri adalah titik balik terbaik? Semoga.
Aku ingin acara bisik-bisikku dengan Tuhan jadi kenyataan. Ingin selalu dilindungi berkah dan doa. Embel-embelnya biarlah urusan Tuhan untuk menyelesaikan. Aku siap, sekali lagi, menjalani hidup.
Tugas manusia memang hanya siap dan menjalankan. Kan?
Selamat hari lahir, Indah! Peluk, Dua Puluh Satu Tahun.
Aku ingin acara bisik-bisikku dengan Tuhan jadi kenyataan. Ingin selalu dilindungi berkah dan doa. Embel-embelnya biarlah urusan Tuhan untuk menyelesaikan. Aku siap, sekali lagi, menjalani hidup.
Tugas manusia memang hanya siap dan menjalankan. Kan?
Selamat hari lahir, Indah! Peluk, Dua Puluh Satu Tahun.
Agustus Agustus Agustus!
Hahahaha!
Awali permulaan bulan paling hebat sepanjang masa ini dengan tawa lepas. Semoga dengan tertawa, ada beban-beban yang menguap begitu saja hingga bulan ini bisa ditapaki dengan merdeka. Luar dan dalam. Oke. Kenapa aku bahagia sekali? Tentu saja. Ini bulan lahir. Aku cinta Agustus dengan seluruh nyawa!
Bukan hanya tanggal, bagiku bulan lahir juga penting. Terlepas dari benar atau tidaknya kriteria dan sifat manusia berdasarkan ramalan dan zodiak, aku percaya kalau takdir sebagai manusia Leo yang lahir di Hari Minggu memang sudah tergaris. Rasanya senang dilambangkan dengan singa. Dan mungkin inilah yang membuatku ingin sekali memelihara singa suatu hari. Senang rasanya dilahirkan di bulan ini, bulan ke-delapan yang disebut Agustus. Gara-gara bulan lahir ini, setelah angka 4 yang dicintai mati-matian itu, angka 8 jadi kesukaan berikutnya. Dan meskipun kombinasi 4444 akan sangat hebat, kombinasi 48 tetap akan jadi yang terhebat.
Marilah mulai Agustus ini dengan aku, sesadar-sadarnya. Banyak hal sulit yang telah terlewat hanya untuk mencicipi lagi manisnya bulan lahir ini. Dan omong-omong, hari kemenangan juga akan jatuh di bulan ini. Tidakkah harusnya bulan lahir tahun ini bakal jadi salah satu yang terhebat? Amin.
Selamat ber-Agustus ria!
Dan untukmu, Augusta Riifa Fatahillah, selamat berulang tahun.
Bahagia, Diri Merdeka
"Puaskah kamu sudah merebut kebahagiaanku?"
Puas? Kenapa harus puas? Memangnya ini perlombaan dan kita sedang saling mengalahkan? Lagipula, memang kau anggap apa bahagiamu hingga saat bahagia itu hilang, kau dakwa orang lain yang telah merenggutnya. Bahagiamu kau gantung pada orang lain ya, hingga saat dia pergi sekonyong-konyong bahagiamu ikut pergi. Aku akan puas sekaligus bahagia kalau kau puas dengan bahagiamu. Puas?
Seperti titik-titik air di kaca jendela itu. Kau boleh menganggapnya hujan atau embun, terserah mana persepsimu. Persis seperti apa yang kaupikirkan, seperti itulah hidupmu akan berkembang. Kalau kau pikir itu hujan yang baru saja reda, mungkin yang terpikir adalah adegan duduk di tepinya saat rintikan itu turun dan merambati jendela. Kalau semua itu ternyata embun yang terlalu banyak hingga seperti ingin membasahi seluruh jendela, mungkin yang terpikir adalah awal pagi yang terlampau dingin. Yang mana saja. Bahkan, bila kau pikir itu adalah rindu yang bergumul jadi satu dan membentuk tetesannya sendiri untuk masuk lewat jendela kamar, tidak salah juga. Dewi Hera yang menangis karena Dewa Zeus terlalu sering mengkhianatinya? Gagasan yang kusuka.
Pikiran bisa sempit dan luas, bisa mendadak jadi lapangan selebar dunia atau kotak perhiasan kecil tanpa sela. Kalau kau mau, pikiran bisa jadi yang mana saja. Aku lebih senang memikirkan pikiran berbetuk persis wujudku sendiri. Yang saat sedang kacau, kubayangkan aku sedang meringkuk sambil memegangi kepala. Yang saat sedang bahagia, kubayangkan aku sedang tertawa sembari merentang tangan selebar-lebarnya. Kalau semua sudah kuhubungkan dengan diri sendiri, tentu tak akan kubiarkan pikiranku menanggung hal-hal tidak penting. Kan?
Bosan dengan "Bahagia itu sederhana", kupikir kini "Bahagia itu diri merdeka".
Bahagiakah kau dengan segala pikiran yang memberatkan itu?
Awal Lini, Separuh Pagi
"Persetan dengan dunia. Bagiku kau semesta."
Kalau saja manusia dicipta untuk mampu melongo ke dalam pikiran orang lain. Kalau saja aku punya daya untuk membaca baris perbaris susunan cerita di benakmu. Kalau saja aku bisa melihat apa yang sudah dan akan kaulalui dalam pencapaianmu atas masa depan kita yang masih abu-abu. Apa aku akan menemukan potongan gelisahmu terhadapku? Apa aku akan menemukan rekahan senyummu atas namaku? Apa aku akan mendapati gambaran waktu beberapa tahun lagi bersamamu? Siapa yang tahu. Mungkin saja kita memang tidak pernah tertulis di dimensi waktu manapun, termasuk masa lalu. Atau bahkan di kehidupan berikutnya, di tempat baru setelah akhir dunia. Hanya ada aku tanpa kau atau ada kau tapi tanpa hadirku. Tidak pernah ada kita.
"Langit-langit kamar atau bayanganku. Mana yang lebih dulu kau lihat di separuh pagimu?"
Kalau benar tidur adalah peralihan dari dunia fana ke dunia nyata, maka aku ingin berada di antara keduanya. Menyusup ke dalam mimpimu, pelan-pelan mengisinya bak hantu. Aku ingin memenuhi bunga tidurmu dengan sungguhan bunga. Hanya akan ada adegan sempurna, tanpa kejar-kejaran dengan masalah dan ditenggelamkan air mata. Hanya akan ada tawa membumbung ke angkasa, senyummu yang sebesar dunia, dan aku yang menatap penuh bahagia. Dan saat kau akhirnya bangun dan menghadapi hari lagi, kuharap yang kau tangkap di mata dan hati masihlah aku. Seperti di mimpimu. Tak kau lihat lagi langit-langit kamar yang putih. Aku akan menyambutmu di awal lini, di separuh pagi.
"Kalau cinta berwarna merah jambu, mungkin milikku berpendar ungu."
Kalau merah jambu memendarkan cahaya lembut yang hangat, ungu-ku akan menusuk matamu dan membuatnya sakit. Karena merah jambu-ku telah terlampau pekat, menyublim jadi ungu tanpa bisa kutahan lajunya. Untuk itulah kau harus memejam agar bisa melihat pendarnya. Bercampur gulita dalam matamu, ungu-ku akan meredup jadi merah jambu. Tak akan kau dapati merah jambu-ku dengan mata membelalak. Kau harus jadi kau sendiri, seorang diri agar bisa menemukanku. Kalau aku bisa ditemukan oleh orang lain semudah saat kau membuka mata, maka lebih baik aku tidak pernah tertulis untukmu. Pejamkan matamu dan temukan ungu-ku membaur dalam dirimu dan jadi merah jambu.
"Jadi, sudahkah kamu mengingatku hari ini?"
Kalau-kalau belum, kuingatkan kamu untuk mengingatku sekarang.
4444
Ah, angka itu sudah lama sekali terlewat. Aku menantikan angka pembaca sampai di angka 4 empat kali. Aku pernah membahas kecintaan pada angka 4 di salah satu postingan tahun baru. Sedikit informasi, aku lahir di tanggal 4. Jadi mendadak angka itu jadi dikeramatkan dalam hati. Dulu aku pernah berjanji akan membuat edisi spesial kalau jumlah pembaca sudah sampai ke-4444. Tapi ternyata momen itu berbarengan dengan kegiatan yang semakin tak terloransi, jadi angka itu terlewat begitu saja. Tahu-tahu saat kubuka Pandora lagi, angka pembacanya sudah mencapai 4500-an.
Terima kasih untuk yang sudah setia membaca. Terima kasih untuk yang selalu menyimak dan menanti perkembangan Pandora. Setelah angka 4444 terlewat, aku menantikan angka 8888 di kolom pembaca. Kalau suka angka 4 karena tanggal lahir, suka angka 8 karena bulan lahir. Hahaha.
Omong-omong, berhubung edisi spesialnya batal terlaksana, di sela kesibukan yang kacau itu, aku sempat memposting dua cerpen untuk proyek NulisBuku yang baru. Jadi, harap maklum dengan jenis dan ukuran huruf yang tanpa editan. Dua cerita itu sengaja kusimpan untuk momen 4444, sebenarnya. Satu 'Matahari Senja di Minggu Pagi' untuk buku bertema Black Cover yang merupakan kumpulan cerpen tentang lesbian, gay, pelacur, poligami, poliandri. Satu lagi salah satu cerita yang paling kusuka karena berseting kafe, 'Vanilla 1/4' untuk kumpulan cerpen bertema kafe At The Caffe. Mungkin aku salah satu pengkhianat yang aneh. Bukannya promosi buku kumpulan cerpen penerbit, malah membagikan cerpen sendiri secara cuma-cuma di blog.
Sekali lagi, selamat membaca Pandora! Terima kasih sudah membantu sampai ke angka 4444.
Happy 27th Birthday, Mario Gomez!
Hola, penyerang Jerman dan Bayern Muenchen!
Nggak akan banyak omong, nggak akan bertanya juga apa kado yang kamu inginkan. Kamu pasti ingin kemenangan Jerman di EURO kemarin jadi kado hebat, sayangnya Jerman kita kalah. Jadi sebagai satu dari sekian banyak manusia yang mengagumimu, aku ingin mengucapkan lagi doa di hari lahirmu. Semoga kamu semakin laki.
Dah, Mez!
Vanilla 1/4
"Yang biasa, ya,"
Tanpa menoleh ke arahku, mulut itu bersuara dari balik
buku. Meninggalkan aku, si pekerja paruh waktu yang baru mulai kerja satu jam
yang lalu, berdiri termangu. Apa dayaku menghadapi serangan semacam: yang biasa, ya.
Sadar kalau aku bahkan tak bergerak, kepala itu akhirnya
terangkat. "Kamu bisa membuatkan pesananku dalam sikap lilin begitu? Hebat
juga."
Aku tersenyum kelu, menahan diri untuk tidak mencabut
alis tebalnya satu persatu. "Saya pelayan baru. Kalau boleh tahu,
memangnya kamu biasa pesan apa?"
"Jangan selalu mau tahu urusan orang, ah. Nggak
baik." Ujarnya santai. Melihat ekspresi muka anehku, keningnya berkerut.
"Respon lambat dan nggak punya selera humor."
"Jadi, kamu mau pesan apa?" kusodorkan daftar
menu sambil berusaha menarik nafas dalam. Atas nama cicilan kafe impian yang
masih berupa gundukan kecil di tabungan, sekali lagi kuproduksi senyum khas
pelayan kafe kopi ternama.
"Kopi vanilla dengan seperempat sendok teh
krimer."
Sambil mengambil kembali daftar menu yang tak disentuhnya
sama sekali, aku manggut-manggut dalam hati. Pantas kelakuannya aneh. Orang
normal mana yang repot menentukan takaran seperempat sendok teh krimer untuk
kopinya. Sebagai peracik kopi pemula, aku tahu kalau seperempat dan setengah
tak jauh berbeda. Bahkan nyaris sama. Dan pria yang alisnya seperti ulat bulu
itu ngotot ingin seperempat.
"Kalau mandi atau cuci tangan, sebaiknya lepas
gelang kayu Turki-mu. Itu jenis kayu yang kalau terkena air, baunya akan
keluar, kan? Sayang kalau aroma antik itu hilang."
Aku memberinya tatapan sendu. Yah, kau dan mulut besarmu
yang sok tahu.
Matahari Senja di Minggu Pagi
“Aku ingin punya
anak.”
Satu kalimat singkat yang diucapkan bahkan tanpa ekspresi berarti. Istriku, berdiri di sisi lain tempat tidur dengan mata lurus menatapku. Ke dalam mataku yang sendu. Di pagi hari yang suntuk, kepalaku mendadak seperti terbelah dua dan menyisakan otak menganga.
“Kau sudah gila.”
Aku tahu dia tidak gila. Keinginan itu datang dari nalurinya, seorang wanita matang di usia produktif. Hanya saja, kenapa hanya dia yang merasa ingin punya anak. Kenapa hanya wanita cantik berambut ikal itu yang mendadak mengharapkan seonggok bayi lahir di tengah-tengah keluarga kecil yang baru kami bangun sebulan. Ah, aku bukannya egois ingin memiliki istriku seorang diri. Aku hanya tidak mengerti, kenapa keinginan semendasar itu harus keluar dari mulutnya persis di saat kami baru saja bertengkar tentang uang sewa apartemen yang tak kunjung lunas. Akhir-akhir ini, istriku seperti terus mencari-cari alasan. Kami terus bertengkar, seperti tak ada habisnya dia memojokanku, pasangan hidup yang beberapa bulan lalu begitu dibutuhkannya.
“Apa masalahnya? Aku ingin punya anak.”
Senja menantangku lagi. Kali ini tubuhnya kecilnya bangkit kemudian berkacak pinggang di depanku. Aku menggeleng muak.
“Kalau kau memang ingin punya anak, kenapa kau tidak katakan pada Minggu? Kau sakit hati karena pria yang berselingkuh di belakangmu itu malah menceraikanmu padahal kau sudah rela dijadikan istri kedua. Aku tahu aku hanya pelarian, aku tahu pernikahan penuh masalah ini juga balas dendam. Tapi, kupikir kita sama-sama tahu ini akan berjalan baik-baik saja kalau kita tidak membahas masa lalu.”
“Kau yang membahas masa lalu!”
“Kau yang memaksaku."
Setelah terdiam cukup lama, Senja menarik nafas dalam-dalam. “Aku tidak ingin adopsi atau apapun. Aku mau punya anak. Anakku. Anak kita. Kau dengar itu, Pagi?”
Aku tahu kami seharusnya tidak bersama. Mana pernah pagi dan senja terbit bersama. Pagi dan senja bahkan dipisahkan oleh siang yang selamanya akan jadi jurang. Aku tidak ingin menyalahkan takdir: kenapa namaku harus Pagi, kenapa namanya harus Senja.
“Terserah kau saja,” aku tersenyum kecut.
Anak. Bagaimana bisa. Aku ini perempuan.
Satu kalimat singkat yang diucapkan bahkan tanpa ekspresi berarti. Istriku, berdiri di sisi lain tempat tidur dengan mata lurus menatapku. Ke dalam mataku yang sendu. Di pagi hari yang suntuk, kepalaku mendadak seperti terbelah dua dan menyisakan otak menganga.
“Kau sudah gila.”
Aku tahu dia tidak gila. Keinginan itu datang dari nalurinya, seorang wanita matang di usia produktif. Hanya saja, kenapa hanya dia yang merasa ingin punya anak. Kenapa hanya wanita cantik berambut ikal itu yang mendadak mengharapkan seonggok bayi lahir di tengah-tengah keluarga kecil yang baru kami bangun sebulan. Ah, aku bukannya egois ingin memiliki istriku seorang diri. Aku hanya tidak mengerti, kenapa keinginan semendasar itu harus keluar dari mulutnya persis di saat kami baru saja bertengkar tentang uang sewa apartemen yang tak kunjung lunas. Akhir-akhir ini, istriku seperti terus mencari-cari alasan. Kami terus bertengkar, seperti tak ada habisnya dia memojokanku, pasangan hidup yang beberapa bulan lalu begitu dibutuhkannya.
“Apa masalahnya? Aku ingin punya anak.”
Senja menantangku lagi. Kali ini tubuhnya kecilnya bangkit kemudian berkacak pinggang di depanku. Aku menggeleng muak.
“Kalau kau memang ingin punya anak, kenapa kau tidak katakan pada Minggu? Kau sakit hati karena pria yang berselingkuh di belakangmu itu malah menceraikanmu padahal kau sudah rela dijadikan istri kedua. Aku tahu aku hanya pelarian, aku tahu pernikahan penuh masalah ini juga balas dendam. Tapi, kupikir kita sama-sama tahu ini akan berjalan baik-baik saja kalau kita tidak membahas masa lalu.”
“Kau yang membahas masa lalu!”
“Kau yang memaksaku."
Setelah terdiam cukup lama, Senja menarik nafas dalam-dalam. “Aku tidak ingin adopsi atau apapun. Aku mau punya anak. Anakku. Anak kita. Kau dengar itu, Pagi?”
Aku tahu kami seharusnya tidak bersama. Mana pernah pagi dan senja terbit bersama. Pagi dan senja bahkan dipisahkan oleh siang yang selamanya akan jadi jurang. Aku tidak ingin menyalahkan takdir: kenapa namaku harus Pagi, kenapa namanya harus Senja.
“Terserah kau saja,” aku tersenyum kecut.
Anak. Bagaimana bisa. Aku ini perempuan.
Book Signing Dee
Di penghujung 1 Juli yang berharga ini, aku ingin mengabadikan satu momen berharga yang belum tentu bakal terulang lagi dalam hidup. Setelah 6 tahun yang lalu untuk pertama kalinya jatuh cinta pada seri Supernova yang ditulis Dewi Lestari, akhirnya hari ini aku bertemu Ibu Suri.
Gemetar sampai mau menangis rasanya. Yah, semacam luapan emosi dan rasa nggak percaya. Yang membuat bahagia, Dee sempat tertawa waktu aku memintanya menuliskan "Teruntuk: Miss Mpret" di bagian depan buku. Mpret itu tokoh utama cowok di seri 'Petir'. Hei, itu harapan besar sekaligus gilaku. Yang dengan senang hati dikabulkan Ibu Suri. Rasanya seperti mimpi indah dua kali.
Terima kasih untuk kejutannya, Tuhan. Terima kasih, 1 Juli 2012.
Mpret, sudah sah, Mpret.
"Adrian-Riifa"
Akhirnya! Seri "Adrian-Riifa" selesai juga. Jarak hari ke-10 terakhir ini lumayan jauh dari hari ke-9 karena banyak kegiatan. Lega akhirnya bisa menyelesaikan hutang cerita. Buat yang baru mengikuti, "Adrian-Riifa" ini sejenis cerpen yang dikemas dalam 10 hari pertemuan. Antara Riifa, cewek 23 tahun yang sering pusing dengan dirinya sendiri dengan Adrian, manajer muda 27 tahun yang perfeksionis dan super sibuk.
Ini link "Adrian-Riifa" dari pertemuan pertama:
Semoga "Adrian-Riifa" kelak masih akan bercerita banyak. Selamat membaca!
#10th Day - Kacamata
Kantor CNA - 20.09
Aku benci dibuat menunggu. Hanya perkara bicara, menunggu bisa semudah yang kau kira. Apalagi kalau dipaksa menunggu kabar dari seseorang yang begitu kau khawatirkan, yang seperti tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri terlebih kau yang mengkhawatirkannya. Aku khawatir berlebihan. Akhir-akhir ini aku banyak khawatir pada Adrian. Dia sedang banyak sekali rapat, semakin sering ke luar kota, semakin jarang mengabari via apapun. Kadang dalam sehari kami hanya bertukar suara sekali, alih-alih bertemu. Dan tepat hari ini, dua hari sudah pria yang sudah dua tahun kupacari itu menghilang di balik tumpukan pekerjaannya.
Kadang kupikir lebih baik punya pacar karyawan biasa yang pergi pukul tujuh pagi dan kembali pulang pukul empat sore. Yang tidak akan dihubungi kalau saham perusahaan turun, yang tidak akan jadi salah satu manusia yang harus memantau perkembangan anak perusahaan di luar negeri. Yang hanya punya satu alamat email untuk menampung notifikasi dari jejaring sosial, bukan tiga email sekaligus yang seluruhnya digunakan untuk bisnis dan wajib dicek setiap hari.
Entah sudah berapa kali kupikir semua resiko ini, berkali-kali aku hanya diam dan merutuki diri.
Saat akhirnya ponsel yang selalu sibuk itu diangkat, air mataku terasa akan tumpah ruah. Perasaan yang sering kualami tapi tak kunjung kukuasai itu kembali menyergap. "Kamu masih rapat? Jangan lupa makan malam dan vitaminmu, Dri. Oh satu lagi, jangan lupa pulang."
"Astaga, Riifa. Ini kamu, kan?" tanya Adrian serak. "Benar-benar kamu."
"Tentu saja aku. Memangnya ada cewek lain yang biasanya mengingatkanmu makan?" tanyaku. "Jangan-jangan memang ada?"
"Mengurusimu saja aku masih harus bertengkar hebat dengan pekerjaan, apalagi punya selingkuhan. Aku butuh enam tangan dan enam otak untuk melakukan itu."
"Baguslah. Nggak menghubungi pacarmu selama dua hari itu bukti kalo kamu nggak punya enam tangan dan enam otak untuk selingkuh. Jadi, dimana sekarang pria tersibuk se-Bumi ini berada?"
"Masih di kantor. Aku ketiduran dan terbangun oleh panggilanmu," suaranya terdengar menjauh. "Dan rupanya di luar sudah gelap."
"Sekarang kamu harus pulang, Jagoan. Jangan mau dikalahkan pekerjaan, istirahatlah." Kutelan ludah saat sebenarnya ingin sekali merengek untuk bertemu. "Dah!"
"Hei, Rii, temani aku makan malam, yuk. Kujemput sekarang, ya!"
"Serius?"
"Serius. Aku mau makan nasi goreng di dekat rumahmu yang terkenal enak itu."
Dan segera saja aku mencari-cari kardigan tebal lalu menyemprot sedikit parfum. Adrian itu pria sibuk yang selalu diserempet jadwal, mudah baginya sampai di satu tempat hanya dalam beberapa menit. Saat kami akhirnya bertemu, aku gagal menahan diri untuk tidak menyambutnya dengan senyum tiga jari. Aku bahkan memeluknya erat sekali.
"Kalau kangen mestinya bilang," sindir Adrian.
Memangnya kapan aku tidak merindukanmu, Pangeran? Kapan aku tidak lelah menunggu hanya untuk mendengar suaramu? Kapan aku pernah sehari saja absen mencemaskan jadwal-jadwal yang mengeroyokmu? Kalau pikiranku adalah sekolah, kamu murid dengan tingkat bolos paling rendah.
I'll Love You
Semoga kita masih melangkah. Aku sedang bicara atas nama masa depan, atas nama manusia yang berdiri dengan kekuatan penuh sekaligus menyimpan rapuh. Aku sedang memerhatikanmu, perjalanan kita, langkah-langkah yang sedang dan sudah kita buat. Sudah banyak yang terhapus ombak, Sayang. Langkah kita terus memperbanyak dirinya, membuka jalan untuk lorong panjang di depan. Aku bertanya-tanya, apa kamu masih melangkah bersamaku, pun sebaliknya.
Tidakkah kamu ingin masa depanmu berisi aku? Tidakkah kamu ingin kelak yang menyambutmu adalah anak-anak yang memanggilku "Ibu"? Tidakkah kamu ingin kelak rumah minimalis berwarna abu-abu itu temboknya menggores cerita aku dan kamu? Tidakkah kamu ingin halaman rumah itu tidak melulu berisi batu-batu, tapi juga tertanam barisan bunga merah jambu? Tidakkah kamu ingin menjadi juri nomor satu setiap kali kusajikan masakanku?
Sayang, masa depan bukan milikku. Bukan milikmu. Takdir itu segaris dengan aku dan kamu, tegak lurus dengan Tuhan. Aku dan kamu, dalam perjalanan yang bahkan belum terjadi ini, marilah saling merapatkan janji. Menegakkan diri. Memantapkan langkah sendiri-sendiri. Untuk kemudian menjajal semua yang telah ditapaki, dalam waktu bernama nanti.
Jadi, bunga mawar itu disimpan untuk dijadikan cincin? Manis sekali, Sayang.
Tidakkah kamu ingin masa depanmu berisi aku? Tidakkah kamu ingin kelak yang menyambutmu adalah anak-anak yang memanggilku "Ibu"? Tidakkah kamu ingin kelak rumah minimalis berwarna abu-abu itu temboknya menggores cerita aku dan kamu? Tidakkah kamu ingin halaman rumah itu tidak melulu berisi batu-batu, tapi juga tertanam barisan bunga merah jambu? Tidakkah kamu ingin menjadi juri nomor satu setiap kali kusajikan masakanku?
Sayang, masa depan bukan milikku. Bukan milikmu. Takdir itu segaris dengan aku dan kamu, tegak lurus dengan Tuhan. Aku dan kamu, dalam perjalanan yang bahkan belum terjadi ini, marilah saling merapatkan janji. Menegakkan diri. Memantapkan langkah sendiri-sendiri. Untuk kemudian menjajal semua yang telah ditapaki, dalam waktu bernama nanti.
Jadi, bunga mawar itu disimpan untuk dijadikan cincin? Manis sekali, Sayang.
I Love You
Sekarang, kita sedang melangkah. Terlihatkah jalan lurus di depan itu, Sayang? Tidakkah sisi-sisi perjalanan kita begitu indah? Tidakkah tanah kita berpijak penuh bunyi gemerisik yang asyik? Bayangkan. Kamu dan aku, hanya berdua, tanpa iring-iring masalah dunia. Bergandengan di bawah payung mapel merah keemasan yang megah, dijatuhi sinar matahari yang ruah. Hanya tawamu dan suara sepatu yang menginjak daun mapel kering satu-satu. Aku tidak akan tertawa, Sayang. Aku hanya akan memandang, mengingat tiap detil, kemudian membekukannya dalam ingatan.
Saat ini kita sedang menguatkan langkah. Ancang-ancangmu belum goyah, tapi jelas mulai payah. Aku pun begitu. Sulit berdiri membangun fondasi, sulit melangkah tanpa pernah benar-benar tidak menoleh. Hanya masalah kecil, Sayang. Kuyakinkan kau itu hanya masalah kecil. Kelak akan ada yang lebih besar, menghantam dan membuat tulang-tulangmu patah, sendiku luluh lantak. Tapi, sudah kuterbangkan janji setinggi surga pada Tuhan, untuk menurunkan yang lebih baik seandainya kakiku tak lagi mampu mengikuti langkahmu. Dan aku mungkin masih akan memandangimu.
Omong-omong, seikat mawar itu belum juga datang.
I've Loved You
Bisakah kamu mencium wanginya? Tidakkah bunga itu segar, Sayang? Tapi, tak terjangkau. Aku hanya bisa menatap sembari membayangkan aromanya. Kenapa kamu, sekali saja, tidak terpikir memberikannya padaku? Tidakkah kamu pernah memikirkan untuk menghadiahkannya padaku? Oh, alasan itu. Aku tidak suka pria romantis. Hei, aku wanita, Sayang. Aku dilahirkan dan ditakdirkan untuk menyukai hal-hal sederhana yang manis, termasuk rangkaian bunga. Aku bisa kok, membelinya sendiri. Tapi menerimanya dari tanganmu, merasakan bekas genggaman hangat di pegangannya, lalu menyesap baunya di hadapanmu. Tidakkah kamu pernah membayangkan seperti apa rona bahagiaku? Tidakkah kamu bahagia melihatku dibahagiakan olehmu?
Beri aku seikat bunga cantik itu. Sesekali saja. Kalau tidak, kupaksa kamu melihat taman bunga di halaman belakang rumah kita nanti. Ah, "rumah kita nanti". Frase yang jejaknya sejelas tapak-tapak kaki di bibir pantai. Yang juga mudah menghilang termakan ombak.
Jadi, jangan berhenti, Sayang. Kita harus terus melangkah. Menghentikan ombak menghapus langkah, jelas mustahil. Untuk itulah kita harus terus menciptakan langkah baru. Kalau kamu lelah, aku akan melangkah untukmu, pun sebaliknya. Kalau kita berdua sama-sama lelah, kuminta Tuhan mengganti kaki-kaki ini dengan yang lebih baik agar lebih bisa mengimbangi langkahmu, pun sebaliknya.
Tapi sebelum melangkah, jangan lupa seikat bunga mawar itu.
Germany - Euro 2012
Hola hola Jerman!
Menyambut euforia Euro (yang terlambat) yang sedang berlangsung, aku atas nama Jerman dan kesebelasannya, mengucapkan selamat mendukung negara favorit masing-masing! Selamat bergelinjangan dan berteriak bak orang gila! Selamat pasang taruhan, semoga kalah, semoga cepat bertobat! Salam sungkem dari manusia yang hampir setiap hari membaca keluhan karena timnya kalah.
Dan, disinilah aku berada. Kembali mendukung Jerman untuk yang kesekian kali, ikut jantungan selama pertandingan, dan semakin menikmati begadang tiap Jerman berjuang. Jadi pendukung Jerman dari zaman Piala Dunia 2002 itu banyak suka dukanya. Salah satu duka paling dalam itu, saking cintanya ke Jerman, tiap kali Jerman kalah dalam perhelatan apapun, sesaknya sampai ke tulang rusuk. Kejadian paling parah waktu Piala Dunia 2010, Jerman lawan Spanyol di final. Itu pertandingan super krusial. Selain karena pertandingan itu penentu kemenangan, kabarnya itu pertandingan terakhir Miroslav Klose di ajang Piala Dunia. Dan pria bernomor punggung 11 itulah yang menyeretku untuk pertama kali senang Jerman. Dimulai dari Klose, merembet ke negara, kemudian cinta klub-klub bolanya, terutama Bayern Munchen. Klose pingin di pertandingan itu dia mencetak gol; selain supaya negaranya menang juga untuk memecahkan rekor pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah Piala Dunia. Alih-alih menang dan Klose memecahkan rekor, Jerman malah kalah 1 - 0 dari Spanyol. Nggak ada satupun gol tercipta, Jerman malah kelihatan keteteran.
Rasanya? Pahit. Keparat luar biasa. Sedihnya sampai ke ubun-ubun, sampai menangis di balik bantal. Nggak nafsu makan selama seminggu lebih dan tiap memikirkan Jerman, bawaannya pingin menjungkirbalikkan meja, pingin peluk Klose terus diajak liburan ke Pulau Bora-Bora. Klose itu lebih dari sekedar kesayangan, lebih dari sekedar pemain favorit. Sayang nasib sedang nggak berpihak padanya di momen sempurna itu.
Untungnya, aku sudah lama sekali bangkit dari kejadian tersungkur dua tahun lalu itu. Dan sekarang, siap mendukung Jerman lagi dengan semangat lebih baru. Euro memang bukan ajang seraksasa Piala Dunia, tapi Euro tetap ajang raksasa yang mendunia. Di pertandingan terakhir lawan Yunani, Jerman berhasil menang 4 -2 dengan permainan yang keren dan bikin geregetan. Awalnya ketar-ketir begitu tahu Gomez dan Muller nggak diturunkan, melihat betapa pentingnya mereka untuk bagian menyerang Jerman. Tapi, Klose tercinta diturunkan. Pengalamannya dianggap bakal lebih dibutuhkan dalam pertandingan kali ini. Dan lagi, memang sudah skema kalau Klose masuk maka Gomez keluar, begitupun sebaliknya. Sepanjang pertandingan itu kerjanya komat-kamit berdoa semoga Gomez cepat diturunkan. Di luar cinta dan bahagia melihat Klose salto di lapangan, Gomez memang lebih gesit. Belum lagi, dia sudah mencetak tiga gol di beberapa pertandingan Jerman sebelumnya. Ketakutan kalau Jerman bakal kalah jelas sudah menggerus keinginan melihat Klose lebih lama.
Untungnya, para dewa-dewi Yunani sedang nggak ingin melakukan 'sesuatu' pada tim mereka. Sekalipun mereka sempat mencetak 2 gol, satu diantaranya lewat penalti, Jerman tetap menang dengan 4 gol yang dicetak oleh 4 pemain berbeda. Gol pertama dicetak oleh sang Kapten, Lahm. Gol kedua oleh Khedira, disusul gol Klose tercinta, lalu gol terakhir ditutup oleh Reus. Pertandingan luar biasa dan aku nyengir kuda.
Sekalipun sepanjang pertandingan pingin Gomez masuk karena kangen mukanya, semua pemain Jerman yang semangatnya menggebu-gebu langsung mengalihkan suasana. Waktu-akhirnya-Gomez masuk dan hati langsung berbunga-bunga, dia sudah nggak pengaruh banyak buat Jerman. Sepanjang sepak terjang Jerman di Euro 2012, mungkin ini salah satu pertandingan yang bakal dikenang sepanjang masa. Mereka keren luar biasa!
Klose, mari semangat menjelang masa pensiun. Gomez, mari berpelukan.
Jerman, perjalanan dan perjuangan masih panjang. Mari berjalan, mari berjuang!
( 'O')9
( 'O')9
Bahagia
Percayakah kamu dengan frase: "Bahagia itu sederhana"?
Dulu sekali, kupikir bahagia harus melulu mengenai semua yang kusukai. Hal-hal yang membuat senyum terkembang dan senyum tergulung senang. Kalau meleset dari ancang-ancang, bahagia bukan lagi bahagia. Sulit memercayai kalau bahagia berwujud sederhana.
Yang namanya bahagia, ya harus diusahakan dengan susah payah. Kalau bahagia itu sederhana, kenapa sulit sekali dirasakan?
Tidak sulit ditemukan ternyata. Bahagia ada dimana-mana. Hanya bentuknya yang berbeda. Hanya butuh kita yang lebih peka, lebih perasa dengan suguhan dunia. Kalau dulu kupikir bahagia hanya sebatas cita-cita dan harapan, sekarang secangkir kopi di sore hari saja sudah jadi bentuk bahagia. Memegang dan mencium pipi adik bungsu, mendengarkan musik seenaknya, atau bahkan hanya melamun di penghujung senja.
Bahagia. Jelas-jelas sederhana. Jelas-jelas sebuah pilihan.
Lagu Lagu Lagu
Halo!
Rasanya asyik kalau sekarang membahas lagu. Aku punya beberapa band favorit yang lagunya sering kudengarkan: Coldplay, Maroon 5, Backstreet Boys, Jonas Brothers, L'arc en Ciel. Aku juga suka Lady Gaga dan yang tercinta, Matthew Morrison. Dan dengan bangga aku nyatakan saat ini sedang menggilai semua lagu Big Bang. Menurutku, mereka salah satu boyband Korea yang aliran musiknya keren dan berbeda. Dan aku suka semua anggotanya-ehem-terutama TOP. Hahaha. Rata-rata lagu mereka langsung jadi favorit di kali pertama didengarkan. Musik mereka beraliran Hip Hop R&B. Yah, semacam itu kalau nggak salah. Mereka keren. Lagu, penampilan, dan semua video klip dahsyat itu juga keren.
Semoga Tuhan melindungi hati para VIP yang nggak bisa datang ke konser mereka Oktober ini. Semoga Tuhan segera memberi kepastian di hati para VIP yang masih bingung mau datang atau nggak, termasuk aku.
Aku nggak akan membahas Big Bang dengan lengkap disini. Selain karena ini bukan blog K-POP dan sejenisnya, aku juga bukan VIP lama yang tahu mereka sampai mendarahdaging. Jadi, marilah kita membahas yang lebih umum seperti lagu kesukaan.
Biasanya bagian pertama yang bikin jatuh cinta sama satu lagu itu lirik. Nggak perlu musik yang ribet dan rumit, kalau liriknya pas, lagu itu positif jadi favorit. Ini yang terjadi dengan lagu Maroon 5 yang baru: "Payphone". Nggak ada iring-iringan musik atau intro alat musik seperti lagu kebanyakan, hanya suara Adam Levine yang menyambut di awal lagu. Dan dengan satu paragraf itu, "Payphone" sukses bikin daku jatuh cinta, sama seperti kasus "Stereo Hearts" dulu.
Saat ini, most played lagu sedang dipenuhi lagu Big Bang. Ini dia 20 daftar lagu yang sekarang jadi most played di ponsel.
1. Blue - Big Bang
2. Fantastic Baby - Big Bang
3. Payphone - Maroon 5 ft. Wiz Khalifa
4. Tonight - Big Bang
5. The One That Got Away - Katy Perry
6. Nothing's Gonne Change My Love For You - Westlife
7. Love Song - Big Bang
8. Bad Boy - Big Bang
9. Heavy Rotation - JKT48
10. My Life Would Suck Without You - Kelly Clarkson
11. This I Promise You - N'Sync
12. Misery - Maroon 5
13. My Name - Matthew Morrison
14. Right Here, With You - David Cook
15. Monster - Big Bang
16. You Belong With Me - Taylor Swift
17. Makes Me Wonder - Maroon 5
18. Burning Up - Jonas Brothers
19. One Thing - One Direction
20. Still Alive - Big Bang
Sekelumit, Sedikit
Kalau punya sedikit saja kekuatan untuk sekedar menggerakan tangan, kenapa harus berteriak minta pertolongan? Kenapa mendadak seperti hilang pegangan, padahal masih sanggup menangis dalam sedan.
Menangis pun butuh tenaga, kan.
Jadi, selagi buliran air hangat itu keluar dari jurang pelupuk mata, kekuatan segumpalan tangan membeku di bagian hati terdalam. Membuang beban.
"Apapun
yang sekarang sedang menimpamu, jaga dagumu agar tetap tegak. Jangan biarkan
punggungmu membungkuk hanya karena kau merasa kalah." -Darnell kepada Hazel.
Kamu dan Jagoan
Beri aku waktu.
Agar aku bisa memakan waktuku sendiri dan menjadi wanita bercelemek yang kerjanya memikirkan jadwal makanmu. Yang berdiri setia di dapur dengan cipratan minyak dan panas api. Yang sibuk menelpon Ibu di seberang demi menjemput resep andalan, yang ulet berdiri meramu semua racikan. Perjuangan beberapa jam, kamu habiskan beberapa menit saja.
Beri aku waktu.
Agar aku bisa memakan waktuku sendiri dan menjadi wanita berkaos oblong penuh cat air, menemani anak-anak bandelmu mengerjakan tugas menggambar. Mana lagi aku peduli dengan rambut berantakan, kulit lengket warna merah kuning hijau. Belum lagi rengekan manja dan gulat kecil para jagoan, duh, aku pasti kerepotan.
Beri aku waktu.
Agar aku bisa memakan waktuku sendiri dan menjadi wanita paling sibuk di dunia kecil antara rumah-sekolah-kantor. Selesai di rumah, kugiring para jagoan ke sekolah, lalu jadi diriku yang lain di sebuah gedung tempat manusia mengadu otak. Dan dalam lelah yang hanya bisa dijelaskan dengan muka kusam berlipat sepuluh, aku ke peraduan rumah. Jadi aku lagi, untukmu dan anak-anak luar biasa itu.
Beri aku waktu.
Agar aku bisa memakan waktuku sendiri dan menjadi wanita yang tak henti berdoa pada Tuhannya. Atas semua semoga yang minta diwujudkan, atas apa-apa yang hanya bisa diurus oleh-Nya. Termasuk kamu dan para jagoan kecil itu.
Beri aku waktu.
Agar aku bisa memakan waktuku sendiri.
Menunggu siapa kamu nanti dan selucu apa jagoan kita nanti.
Menunggu siapa kamu nanti dan selucu apa jagoan kita nanti.
Satu Lawan Satu
Oh, hai. Berapa lama hari ini aku memberimu perhatian? Tiga puluh detik? Kemajuan, ya. Berarti lebih lima detik dari pertemuan terakhir kita. Nggak masalah, kan, kamu toh selalu bisa memaklumi perkara kecil ini. Perkara abai mengabaikan. Aku semakin jago mengabaikan, kamu semakin jago bertahan.
Bukannya aku kejam. Kamu, kita sama-sama tahu kalau dulu aku yang jadi terabaikan. Betapa kamu seperti mempermainkan dan aku tergilas tanpa ampun. Aku tahu rasanya terseok dengan posisi muka di bawah, melawan, dan sibuk menentang. Suatu kali, kudengar sayup kamu berbisik padaku yang meringkuk. "Ayo, kita berdamai saja."
Cih, damai. Memangnya apa yang kudapat kalau kelak kita berdamai. Kuludahi mukamu, tepat di tengah hingga kamu menyerngit heran. Kini jelas-jelas aku menantangmu. Satu lawan satu.
Kalau diingat-ingat, sempat kupikir ini seperti tak berkesudahan. Aku yang terlalu lelah sekaligus terlalu keras kepala, kamu yang melelahkan sekaligus tak terkalahkan. Merobohkanmu itu seperti mendorong air laut agar menepi ke sungai, merubah alirannya hingga muara segala air bukan lagi samudra. Upayaku seperti ditempeleng dengan Jurus Tapak Buddha, sekeras-kerasnya tenaga dalam kutembakkan, sekeras itu juga ia terlempar. Menabrakku kembali, sama kerasnya, hingga aku lagi-lagi tersungkur dan kamu lagi-lagi hanya tersenyum.
Dan, damai. Pada akhir pertemuannya, kurasakan kata itu lebih melunak. Pikiranku serta merta seperti ditanak, lembek. Gagasan itu nyatanya tak buruk, alih-alih membuatku malu. Karena saat itu, aku menerima damaimu sambil tersenyum senang. Aku menang.
Kini, kubiarkan kita bersama jalan bersisian. Meski tak selalu kutoleh, kamu toh akan terus melekat, lebih erat dari bayangan. Tak apa.
Kita berteman ya, Takdir.
Satu Dua Tiga
Satu
Dua
Kemudian kita
Tiga
Empat
Kemudian rapat
Lima
Enam
Kemudian tenggelam
Tujuh
Delapan
Kemudian bergandengan
Sembilan
Sepuluh
Kemudian meluruh
Kita rapat, tenggelam, bergandengan, meluruh. Dalam cinta.
Dua
Kemudian kita
Tiga
Empat
Kemudian rapat
Lima
Enam
Kemudian tenggelam
Tujuh
Delapan
Kemudian bergandengan
Sembilan
Sepuluh
Kemudian meluruh
Kita rapat, tenggelam, bergandengan, meluruh. Dalam cinta.
Diam-diam
Apa rasanya menahan buncahan rasa yang kau sendiri tak mengerti dan sungguhan paham. Seperti mencegah ribuan kupu-kupu keluar dari jejaring halus, yang bila tak didekap baik-baik, ada saja kupu-kupu yang berhasil keluar. Diam-diam.
Bukankah, selayaknya ribuan kupu-kupu yang ingin menghirup bebas dan mengepak sayap, akumulasi buncahan rasa itu juga ingin mendapat kebebasannya. Merdekanya. Tak perlu seluruh dunia tahu, buncahan itu hanya ingin seleganya terbang. Semerdekanya perasaan.
Tak perlu naif, bebas pun akan ingin berhenti suatu saat. Di pemberhentian yang tepat. Segirangnya kupu-kupu terbang, masa hidupnya singkat, tetap ingin punya tempat mendarat. Terlebih buncahan rasa itu, yang dibiarkan bebas terlalu bebas, tiba saatnya letih dan ingin istirahat. Di tangan yang tepat, didekap yang erat.
Buncahan rasa itu tak akan terkekang. Dipegang erat tidak berarti diikat. Hanya memberi tempat bersandar, tanpa perlu melanglang terlalu lebar. Toh, di ruang dekap itu ada dunia kecil yang bisa dijelajah. Tempat dimana buncahan tak perlu lagi berteriak dalam pikirannya sendiri, tak perlu lagi sibuk menunjukkan eksistensi.
Dalam dekap yang diharap selamanya itu, sang buncahan rasa terlelap.
Menikmati bahagianya sendiri. Diam-diam.
Rindu
Ah, kata itu
lima huruf berpadu jadi tombak mata satu
sekelebat mata kau tangkap dan langsung membuat ngilu
bukan cuma cicak yang diam-diam merayap malu-malu
bukan cuma bunglon yang dalam senyap menyergap kupu-kupu
gerombolan rindu itu sanggup mendesak nyaliku
hingga yang tersisa hanya aku
Ah, rindu. Kata apa itu. Bukankah rindu adalah gejolak yang membuncah saat kau menginginkan kembali iring-iringan yang sudah lalu? Persis seperti penjara, tapi membuat si tersangka candu. Terus ingin terjerumus, terus dan terus, hingga tak peduli pada hati yang kian sendu, sampai hanya bisa tersenyum kelu.
Ah, rindu. Benarkah penawarmu hanya dengan bertemu?
Tidakkah ada cara lain untuk meredammu, misalnya,
dengan menukar aku ke dalam senyap?
dengan menukar aku ke dalam senyap?
Aku hanya ingin lenyap.
Cerpen #8
1. Aku Retha, Jangan Panggil Aku Pelacur oleh Frederica Natalia Sitepu
2. Si Manis Luna, Cinta dan Waria oleh Putri Widi Saraswati
3. Ibu tidak Pernah Memilih Menjadi Janda oleh Ika Sarastri
4. Dua Perempuan oleh Anggi Hafiz Al Hakam
5. Surat Untuk Ibu oleh Hani Taqqiya
6. Niat Tersembunyi oleh Juliana Wina Rome
7. Berbagi Bapak oleh Budi Mulyanto
8. Seandainya Cinta oleh Purba Sari
9. Matahari Senja di Minggu Pagi oleh Indah Arifallah
10. Untaian Kata Beribu Rahasia oleh Assrianti dan Suryani
11. Identitas Malam oleh Tika Sylvia Utami
12. Anggrek Benalu oleh Catherina Theresia
13. Sekelumit Kisah Pilu dari Desa Ananke oleh April Sastradjaja
14. Rejuvenatio oleh Tika Sylvia Utami
Jika Aku Sebuah Buku
Jika aku sebuah buku.
Jika aku dan semua detail dalam hidup selama 20 tahun ini, tiba-tiba menyublim membatu dan jadi sebuah buku. Tanpa perlu aku ceritakan satu persatu, buku itu merangkum dengan sempurna tiap momen yang menurutnya patut diraba kembali agar tak mengerak di dasar otak. Ah, akan jadi seperti apa buku itu. Buku yang benar-benar aku, membeberkan tiap cerita tanpa malu-malu. Buku itu pasti akan jadi saksi hidup yang hebat, sayang dia bisu.
Jika aku memegang satu buku, satu hal yang aku inginkan pasti menghabiskannya dengan buru-buru. Rasanya ingin melahap secepatnya, ingin tahu kisah menyentak apa yang ada di dalamnya, pelajaran macam apa yang kuterima. Dan seperti apa ekspresiku setelah membacanya. Ada saat-saat aku tertawa sambil menangis bahagia, sering kali tangisan cengeng karena sesaat seperti menjadi pemeran utama. Tapi, ada waktu-waktu dimana aku hanya terdiam, memegang bukuku dengan sendu dan kelu. Hebat sekali, bagaimana penuturan seseorang di buku yang notabene adalah buah pikirannya, bisa sedemikian rupa membuatku seperti terjebak waktu. Buku terakhir yang kubaca bahkan membuatku merenungi diri sendiri sembari meringis dalam hati. Tidak ada satupun bagian buku itu yang mirip dengan kisahku, tapi untuk pertama kalinya, aku merasa seperti harus hidup dan terlibat dalam cerita itu. Aku ingin masuk dan menyelamatkan si tokoh utama itu untuk kemudian meraih dan merangkulnya, agar dia tidak mati. Agar dia tidak menghilang dari Bumi. Melankolis sekali. Aku bisa hancur begitu rupa lewat interaksi dua tokoh utama yang begitu nyata.
Kalau aku adalah sebuah buku, jenis buku macam apa yang akan mengisi lembar demi lembarnya. Akan setebal apa buku kehidupan itu jadinya. Apa warna sampul dan kertasnya, gambar apa yang muncul menjadi simbol hidupku di bagian mukanya. Dan yang paling penting, apa judul yang tepat untuknya. Untuk buku hidupku. Kalau boleh menerka, buku itu akan bersampul warna merah bata. Merah yang nyalanya cenderung gelap, persis seperti darah tua yang siap diregenerasi darah baru dari sumsum di belakang. Warna yang kukagumi karena seperti bernyawa. Mungkin karena dari awal kuanggap itu darah, warna merah jadi seperti mengalir. Dan aku akan dengan bangga menjadikannya sampul depan dan belakang dari buku hidupku, andai aku punya andil untuk mengubahnya. Soal judul, jujur, aku sendiri takut membayangkannya. Judul itu citra utama, satu dua patah kata di bagian muka yang memjelaskan isi keseluruhan buku akan seperti apa. Apapun itu, kuharap judul buku hidupku adalah barisan kata sederhana. Yang saat orang membacanya, senyum akan mengembang di bibirnya. Kemudian aku akan dipeluk dan dibawa untuk dibaca saat butuh bahagia. Dan bukan dengan menyerngit dahi lalu lari.
Sampai saat ini, aku tidak tahu akan seperti apa bentuk buku hidupku. Aku bahkan pernah berguyon dengan salah satu teman. Kami bertanya-tanya seperti apa isi buku seandainya hidup kami dibukukan. Aduh, jangan-jangan nanti itu buku tebel tapi kosong gitu aja, katanya padaku. Saat itu kami tertawa. Membayangkan 20 tahun hidup di dunia ternyata tanpa apa-apa. Begitu proses penyubliman hidup selesai, aku dan temanku memegang buku kami, menyelesaikannya dengan cepat karena semua lembaran kosong tanpa sempat membaca dan mempelajari apapun. Untuk beberapa saat itu lucu. Saat kami berpisah, aku bergidik ngeri membayangkannya. Hidup macam apa. Rasanya tidak ada yang lebih seram ketimbang hidup yang-ternyata-tidak berisi apa-apa.
Ah, buku hidup. Kalau kau memang ada, aku tidak berharap bukuku akan laris manis seperti kacang. Cukup aku dimiliki oleh yang benar-benar paham dan mengerti, oleh yang benar-benar membutuhkan untuk menemaninya dalam sepi. Cukup untuk sekelompok orang-orang yang sungguhan tahu. Yah, seperti semacam pembaca setia. Alangkah bagusnya, kalau buku itu bisa jadi penopang semangat. Seperti aku yang selalu bahagia melihat tumpukan buku di meja belajarku.
Oh ya, omong-omong, buku yang membuatku babak belur itu--lagi-lagi--bergenre chicklit. Judulnya 'God-shaped Hole' oleh Tiffanie DeBartolo. Temukan Jacob disana, temukan hati yang meluap campur aduk di ujung cerita.
Jika kau sebuah buku, pernahkah kau membayangkan seperti apa rupamu?
Nah, bayangkanlah.
Nah, bayangkanlah.
Selamat Hari Lahir, Ayah!
Ah, Ayah. Sudah 50 tahun ya. Berarti hari ini tepat setengah abad, Ayah bergulat dengan dunia. Sudah setengah abad Ayah memijak, menapak, dan menjajal bahagia dan getirnya tanah Bumi. Aku nggak akan bertanya bagaimana rasanya, kok. Aku tahu-sedikit-kalau dunia ini keras, kalau nggak kuat kita akan tergerus. Ih, aku sok tahu ya, Yah. Padahal masih 20 tahun gayanya seperti sudah kenyang makan asam garam. Memangnya apa arti semua yang terjadi dalam hidupku ketimbang hidup Ayah yang perjalanannya super itu. Oh ya, kebetulan 8 April tahun ini jatuh di hari Minggu, sama seperti hari kelahiran Ayah, kan. Pas sekali. Ini memang hari untuk Ayah. Hari Minggu itu lambangnya: awan. Kata orang, yang lahir hari Minggu tabiatnya keras, nggak mau kalah dan selalu ingin jadi pemenang. Karena pada dasarnya awan selalu ada di atas. Sebagai sesama yang lahir di hari Minggu, aku tahu itu rasanya benar, Yah. Hahaha.
Ayah, apa rasanya sudah hidup selama 50 tahun? Kupikir itu waktu yang cukup lama untuk tahu bahwa hidup bukan sekedar hidup. Hidup pasti banyak kerikil, jurang, sekaligus surga. Dan rasanya Ayah sudah mengalami semua. Untungnya aku-sudah dan selalu-bersyukur punya Ayah yang kuat. Yang selalu sekokoh tembok langit, yang hanya akan rubuh karena Tuhan. Semoga Ayah juga menurunkan sebagian kekuatan itu untukku, karena oh, hidup masih terlalu keras dan terjal untuk dilalui. Alangkah bagusnya kalau aku bahkan bisa melewati semua tanpa perlu terseok begitu rupa hingga babak belur.
Aku ingin bicara banyak, tapi aku malu pada aku yang nyata. Yah, ini memang aku. Hanya saja aku yang Ayah kenal bukan kakak yang senang berkata-kata dan hobi berbasa-basi, kan. Aku kakak yang introvert, sama sekali nggak kritis dengan keadaan, dan-kelihatan-kurang peka. Nah, Ayah bahkan nggak tahu kalau anak pertamamu ini punya blog dan tumblr, dimana dia hobi cuap-cuap. Anggap saja aku nggak penuh cinta di luar, tapi meluber cinta di dalam ya, Yah.
Rasanya ini akhir ucapan selamat ulang tahun dariku. Semoga di usia 50 tahun dan seterusnya, perjalanan Ayah lebih sederhana. Yang ada hanya tinggal bahagia, dunia dan akhirat. Semoga Ayah selalu seperti tembok semesta yang rebahnya mengangkasa, agar bisa terus jadi tudung untuk Ibu, aku, Husen-Hasan, dan Abi. Aku, setiap hari, menitipkan doa pada Tuhan agar Ayah selalu dilindungi. Setiap saat. Amin.
Seperti udara yang selalu mengurai hingga akhir dunia, seperti itulah aku yang selalu berharap Ayah bahagia.
Ayah, selamat ulang tahun.
Subscribe to:
Posts (Atom)