#4th Day - Bukan Kebetulan

Pukul 08.25 - Apartemen 

“Aku menangkapmu!”
Aku menoleh kaget pada Moca yang menepuk-nepuk handuk besar di kepalanya kemudian mengencangkan tali jubah mandinya. Bibirnya turun.
“Kau melamun,” katanya.
“Yang benar saja, aku nggak mungkin melamun,” kilahku.
“Riifa, yang kepalanya sekeras baja, yang realistisnya lebih hebat dari pengamat dunia, yang anti berkhayal dan bermimpi,” suara Moca mengalun. “Kutemukan dalam keadaan melesak di sofa, pandangan pias ke arah langit-langit ruang tengah, dan mulut mengerucut.”
Apa aku tadi sejelek itu?
“Ngawur lagi, kutebas kepala berhanduk itu,” ancamku.

Moca melepas handuk dari kepalanya dengan satu sentakan anarkis yang menyerang wajahku. “Terakhir kali kau seperti ini empat tahun yang lalu. Ingat?”

Aku ingat tapi pura-pura tak ingat. Tepatnya tak ingin mengingat.
“Aku mau kopi. Kau jus, kan?” aku bangkit.
Moca mendorongku hingga badanku kembali melesak di sofa. “Empat tahun yang lalu saat kau jatuh cinta pada Theo. Ingat?”
Tentu saja aku ingat. Kurasakan otakku terlumat.
“Kau sedang jatuh cinta.”
Kali ini, aku sanggup menggeleng keras. “Kau tahu seperti apa rasanya melihat tiruan Hugh Jackman di depan muka? Terlihat dan terasa luar biasa, sangat nyata, tapi dia tak benar-benar hidup.”
“Siapa yang tepatnya sedang kita bicarakan?” tanya Moca. “Tiruan Hugh Jackman kurasa nggak akan membuatmu seperti ini. Atap rumah Theo jauh lebih bisa membuatmu gila.”
Kuputar bola mata perlahan, menciptakan efek dramatis campur mual pada Moca yang berkacak pinggang. “Aku nggak ingin membahasnya.”
“Ayolah, siapa pria itu?”
“Nggak ada pria, nggak ada jatuh cinta.”
“Arya?” desak Moca sambil meraih botol jus dari tanganku.
“Aku akan menodainya kalau itu terjadi,”
“Oh, jadi pria itu adalah seseorang yang nggak dekat denganmu?”
“Kesimpulan yang terlalu cepat,” ucapku. Sebenarnya kalau Moca jeli, saat mengucapkan kalimat tadi suaraku sedikit bergetar. Aku mati-matian meyakinkan diri sendiri kalau gelisah ini hanya bawaan melankolis kekanakan yang mendadak timbul. Tak lebih dari itu. Kalau lebih, aku memilih bunuh diri.
Hanya gadis bodoh yang jatuh cinta pada seorang pria hebat hanya karena mereka terjebak pertemuan-pertemuan tak terduga dan mengejutkan. Aku pernah menjadi gadis itu. Pernah jatuh dan menjadi yang terdungu di dunia. Aku tak ingin jadi gadis bodoh semacam itu lagi. Tidak dengan usiaku yang semakin menanjak.
“Rii, jadi kau nggak mau mengaku, nih?”
“Moca sayang, kutarktir Hermes, yuk?”

Moca melotot selama sedetik, lari ke kamar selama dua detik, dan kembali tiga detik kemudian dengan pakaian lengkap dan senyum yang terangkat hingga telinga. “Kapan kita berangkat?”

Pukul 10.10 - Jewerly Fashion
Dompet dan tas yang baru didatangkan berjajar rapi dan menggugah di lemari-lemari kaca. Meski dilabeli dengan harga selangit yang membuat gaji tiba-tiba lenyap, semua keindahan dunia ini tetap tak bisa ditolak. Aku memang jarang membeli barang-barang seperti ini terlebih aku bukan penggila mode seperti Moca. Tapi tetap saja, wanita tak pernah tahan melihat fashion item.
Sementara Moca berebut sebuah dompet ungu dengan seorang ibu hamil, aku dihantui gelisah tak beralasan yang bila diketahui Moca bisa melunturkan harga diri seumur hidup.
Aku ingin melihat Adrian. Ingin melihat wajahnya.
“Sial,” makiku kesal. “Sial kau, Riifa,”
“Rii, kemari!” Moca melambai dari balik tumpukan wanita.

Aku tidak ingin berada disini. Aku tak seharusnya berada disini.
“Jangan menghadang jalan,” gerutu pembeli di belakangku.
Tuhan, kenapa aku ingin sekali bertemu Adrian?
“Rii, hei kenapa bengong? Ada tas merah yang kau incar itu!” Moca berteriak lagi.
“Kau menghadang lemari sepatu, Lady!” tegur pelayan toko.
Aku ingin ke kedai kopi kecil itu.
“Astaga, apa yang kaulakukan? Riifa?!” kudengar Moca menyahut histeris. Suaranya tertelan suara kendaraan yang lewat saat aku berlari keluar dan menyetop taksi dengan dada bergemuruh. Ini jelas tindakan gila. Tembok pertahananku hampir jebol.
Saat taksi berhenti di depan kedai, aku mendapati belasan panggilan Moca ke ponsel. Terang saja. Aku meninggalkannya di toko favorit sejuta wanita, dengan barang yang masih baru pula, dan janji traktir yang menggoda.
Aku memang sudah gila.
Kedai terlihat ramai di Minggu pagi yang dingin. Asap kopi mengepul, aroma sedap berkumpul. Kulihat beberapa remaja duduk bersama sembari tertawa, masing-masing bisa mengesampingkan segala dilema dan membaur dalam bahagia. Tak seperti aku, yang bahkan tak bisa menahan diri untuk bertemu dengan seorang pria yang diluar jangkauan.

Riifa, 23 tahun, single, si tolol berhati labil.
“Kenapa juga aku ingin sekali kesini?” desahku.
Pernahkah kau merasa begitu ingin bertemu dan melihat wajah seseorang tanpa sebab dan alasan yang jelas? Perasaan yang membuat logika lenyap dilumat hati yang terus menuntut. Aku memutuskan untuk kalah kali ini.
Kutekan sebuah nomor dengan cepat. “Mommy?”
“Hei, Sayang! Kupikir kau nggak akan menelpon ibumu lagi!” seru ibuku.
“Kau ingat pernah cerita tentang keinginan anehmu yang mendadak ingin bertemu Daddy?” tanyaku cepat dengan suara yang lemah.
“Oh, saat ayahmu dan aku baru saling kenal dua hari? Itu perasaan yang mengerikan, Sweetheart! Kau tahu saat itu-“
“Aku sedang merasakannya, Mom,”
Hening sejenak. “Pada Arya?”
Aku berdecak. “Mom, terus terang yang barusan itu menghancurkan mood-ku. Harusnya kau bertanya, ‘Benarkah? Siapa?’ lalu aku menjawab dengan dramatis dan sebuah perasaan haru menyembul dari dalam hati!”
“Mom suka pada anak itu. Dia baik.”
“Karena kau sudah menghancurkan suasananya, biar kujelaskan semuanya. Aku, anakmu yang sudah jomblo selama 3 tahun, hidup selama 23 tahun, dan jungkirbalik membangun tembok anti sakit hati,” aku menarik nafas dalam-dalam. “Merasakan hal tolol sama sepertimu.”
Ibuku hanya diam.
“Dan aku, anakmu yang keberuntungannya selalu tercecer dan dipungut orang, meninggalkan Moca di Jewerly Fashion hanya untuk mampir ke kedai kopi tempat aku dan pria itu pertama kali menemukan kesamaan aneh kami, 2,5 sendok krimer.”
“Itu mengejutkan,” ibuku bersuara.
Aku mengiyakan. “Dan meskipun aku tahu dia nggak akan ada disini, terlebih saat aku sedang berada disini, aku tetap ingin kesini.”

“Dan apa yang kaudapatkan?” tanya ibuku.
Hening lagi. Kali ini agak panjang.
“Lega.”
“Hanya itu?”
“Kau tahu, Mom? Kami selalu bertemu secara kebetulan dan terbungkus dalam momen janggal yang berkesan. Pertemuan pertama di kantor, kami nyaris satu lift tapi nggak saling mengenali. Kedua terjadi disini, di kedai kopi saat kami sama-sama memesan kopi dengan 2,5 sendok krimer. Ketiga di Ladybug, saat aku makan siang bersama Arya dan-“

“Kau makan siang bersama Arya? Kalian kencan?” ibuku terkejut.
“Mom, kumohon berhenti membahas bagian paling nggak penting dari ceritaku!” suasananya kembali buyar. “Kulanjutkan?”
“Oke, Sayang,”
“Jadi, pria itu dan bos-nya menemuiku. Meski nggak menyapa, aku melihat dia menatapku. Jelas-jelas menatap ke arahku. Dan kau tahu, Mom? Dia memesan pancake vanilla!” suaraku mulai terdengar seperti anak kecil. “Oke. Nggak. Aku nggak menganggap kami jodoh atau apa. Cih, aku juga nggak sebodoh itu untuk punya pikiran itu. Hanya saja-“
“Pertemuan kalian terlalu bersifat kebetulan?” potong ibuku.
“Mommy benar!” teriakku senang. Akhirnya.
“Nggak ada kebetulan, Sayang,”
“Untuk itulah aku disini sekarang. Kalau tiga hari yang lewat aku selalu bertemu dengannya dan tanpa direncanakan, masih sangat mungkin itu hanya kebetulan yang direncanakan Tuhan untuk menambah bumbu hidupku. Dan sekarang, aku yang sengaja merancang pertemuan kami. Aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri kalau tiga hari yang lewat itu hanya sekedar pertemuan biasa. Aku nggak harus terbayang-bayang semua hal-hal sialan itu.”
“Tarik nafas dalam-dalam, Sayang,” kata ibuku.

Aku melakukan perintahnya. Saat kudengar adikku Mario memanggil ibuku, aku tahu tak akan ada waktu lagi bagi ibuku untuk sekedar mengobrol dengan anak sulungnya. Mario itu si Setan Penghisap Waktu.
Parkiran CNA terlihat penuh. Setelah memesan segelas kopi ajaibku, aku menyebrang jalan dan menatap gedung CNA dari trotoar.
“Ada acara apa?” tanyaku pada sekuriti yang berjaga.

“Peresmian anak perusahaan CNA di Singapura,” jawab si sekuriti.
Adrian ada di atas sana. Mungkin sedang tersenyum tiga jari.
“Acaranya sampai sore?”
“Acara ini dijadwalkan sampai malam.”

Aku tidak mungkin menunggunya. Kalau menunggunya, itu bukan lagi sebuah pertemuan. Tatap muka hampir mutlak terjadi saat dia selesai dan aku termangu di lobi bawah menunggunya. Harusnya aku senang, kan? Saat aku begitu ingin bertemu dengannya kami justru tak dipertemukan. Berarti semua yang sudah lewat itu tidak boleh kuanggap sebagai suatu pertanda. Kan?
“Kenapa aku senorak ini?” umpatku kesal.
Terkadang kita memang perlu membenturkan kepala ke tembok sekedar membuat pusing sel-sel yang menololkan dirinya.
Aku turun ke parkiran mobil, berjalan ke sela-sela mobil yang cukup rapat. Saat itulah sebuah mobil Nissan Terrano dengan kecepatan tinggi dan bunyi berdecit yang cukup panjang masuk ke lahan parkir yang kulewati. Rambutku terbang tersapu angin.
Mobil keparat itu hampir menabrakku. Darahku pasti sudah habis.

Si pemilik mobil memaki pelan, keluar dari dalam mobil sambil merapikan dasi, matanya merah karena mengantuk. Dengan terburu-buru, dia memasang kacamata yang terselip di saku jas dan melangkah setengah berlari.
Kalau ini memang bukan kebetulan, apalagi aku harus menyebutnya?
“Adrian,” panggilku.
Adrian menoleh sambil mengerjapkan mata. “Hei, Riifa, sedang apa kau disini?” katanya sembari melihat jam di tangan. “Maaf aku nggak bisa mengobrol. Aku kesiangan dan ada acara penting di atas-“
“Kau kurang tidur,” kataku sambil menyodorkan gelas kopiku. “Dua setengah sendok krimer, untuk mengurangi kantuk dan grogimu.”
Adrian mengangat tangannya yang penuh. “Thanks, tapi sepertinya aku sudah nggak bisa memegang apapun lagi. Oh sial, aku sudah sangat-“
“Selamat atas diresmikannya anak perusahaan kalian!” kataku sambil berusaha tertawa. “Sampai bertemu lagi!”
Tanpa sempat melihat reaksi Adrian, aku berbalik dan berjalan menjauh. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Ya, pertemuan kami memang tidak berarti apa-apa.
Kudengar langkah kaki Adrian menjauh dan setelahnya suara sekuriti yang menyambut kedatangannya yang terlambat dan grasak-grusuk.
“Moca? Maaf tadi aku benar-benar gila,” kataku pada Moca yang berteriak di seberang telpon. “Ya, aku akan kesana sekarang. Akan kujelaskan nanti.”
Saat aku menyetop taksi, si sekuriti menahan pintu taksi dan mencegahku masuk. Taksi berlalu disertai dongkol besar di hatiku. Man, aku sedang tidak ingin melakukan tendangan salto sekarang.

“Anda diminta menunggu di ruangan Pak Adrian,” katanya.
“Apa?” tanyaku kaget.
“Beliau bilang ingin minum kopi setelah acara pertemuan,” si sekuriti menuntunku masuk. “Beliau akan sesegera mungkin keluar sebelum acara selesai.”
Kupegang cangkir kopi erat-erat. Moca, aku kembali jadi gadis bodoh.
“Ikuti saya,” kudengar si sekuriti berkata.

Tuhan, Kau pasti sedang bercanda.
Bersambung ke #5th Day…

No comments:

Post a Comment