#2nd Day - 2,5 Sendok Krimer

Pukul 04.18 - Apartemen
Aku bergelung di kasur, mengumpulkan nyawa yang berserakan hanya untuk mengangkat sebuah panggilan yang terus menerus masuk ke ponsel. Moca terus menendang betisku, meminta untuk cepat mengangkat ponsel dan menghentikan suara Adam Levine di subuh buta.
“Arya?”
“Maaf mengganggumu pagi-pagi,” sahut Arya enggan.

“Subuh,” ralatku.
“Aku baru saja ditelpon Roger-“
Ini bukan pertanda bagus. Semua yang menyangkut Roger tak pernah bagus.

“Kau harus ke CNA jam delapan ini,”
“Aku apa?!” aku memekik kuat, membuat Moca terlonjak dari tidur.
“Apa yang terjadi?” tanyanya.

Arya menghela nafas panjang, nadanya terdengar lelah. “Dia puas atas hasil wawancaramu kemarin. Dan sekarang memintamu untuk mewawancarai Direktur Utama CNA. Jadwalnya jam delapan pagi.”
“Kenapa seenaknya saja? Aku ini editor! E-D-I-T-O-R!”
“Semua orang tahu itu,” timpal Moca malas kemudian kembali tidur.
“Ini perintahnya, Rii. Aku hanya menyampaikan. Mendengarnya saja membuatku sakit kepala.” Arya berdehem. “Aku mengajukan diri menggantikanmu, tapi Roger bilang ini khusus untukmu.”
“Terima kasih sudah berniat menggantikanku,” aku bangkit dari ranjang dan meraih handuk di gantungan. “Terima kasih sudah selalu menjadi penyampai pesan kematian.”
“Mau kemana?” Moca mengerjap saat matahari mulai menembus jendela kamar kami yang sepenuhnya kaca. Dia memandangiku yang berpakaian rapi dengan poni digelung di belakang kepala. Gaya rambut itu hanya kupakai disaat-saat penting. Terakhir kali Moca melihatnya saat aku wisuda.
“Wawancara Dirut CNA, dua jam lagi.”
“Kau kan editor,” protes Moca.
Kupoles lipstik merah muda ke bibir yang penuh, menyemprotkan parfum di leher dan nadi tangan, kemudian tersenyum seraya melambai pada sahabatku yang kucel di kasur.
“Semua orang tahu itu,”

Pukul 06.29 - CNA
Aku menatap gedung CNA yang kini jadi gedung pencakar langit tertinggi di daerahnya. CNA mulai bergerak menjadi perusahaan dagang besar yang berniat menjadi raksasa saham. Dunia yang membuatku menyerngit ngeri. Persaingan modal, bermilyar-milyar investasi, dan taruhan di pasar saham yang tak main-main.
“Gula?” si penjual kopi bertanya saat aku memesan kopi dingin di sebuah kedai kecil di depan CNA. Aku menggeleng.

“Krimer dua setengah sendok,”
“Dua setengah?” tanya si penjual lagi.

“Itu takaran yang paling pas,” kataku sambil tersenyum lebar. “Setengah.”
Sementara menunggu kopi ajaib siap, aku mengambil koran di rak kedai kemudian bersandar pada tiang kedai. Berita tentang kecantikan menyita perhatian. Biar tingkah sebrutal apapun, aku tetap ingin jadi gadis normal yang cantik.
“Gula?” terdengar si penjual melayani pembeli lain.

“Krimer dua setengah sendok,”
Aku berhenti membaca.
Si penjual kopi melirikku yang bengong di tempatnya berdiri.

Adrian Maha Deva.
“Hei, kau,” pria itu sedikit terkejut.
“Riifa,” sahutku kikuk sambil meletakkan koran ke rak. Aku sama sekali tak menyangka akan bertemu kembali dengan Adrian setelah wawancara yang kami lakukan kemarin.
Dan lagi, ternyata Adrian bahkan tak ingat namaku.
Tak heran.
“Kopi siap. Krimer dua setengah sendok,” si penjual menyodorkan segelas besar kopi dingin. Tangan Adrian sigap menyambutnya.
“Itu kopiku,” protesku.
“Dua setengah sendok krimer. Ini milikku.” Adrian tersenyum.
“Sayangnya, aku juga memesan kopi dengan dua setengah sendok krimer,” aku beralih pada si penjual yang tersenyum. “Ya, kan?”
Si penjual mengangguk geli kemudian mengangsurkan kopi kedua. “Kopi siap. Juga dengan krimer dua setengah sendok.”
Adrian menatap gelas kopinya agak lama. Masih terpana dengan kejadian langka yang baru saja dialaminya, manajer CNA itu mengangsurkan gelas kopi dalam genggamannya padaku.

Kusambut gelas darinya. “Terima kasih,”

Gelas plastik kopi yang dingin terasa hangat. Apa tangan besar itu sungguh bisa menghangatkan secepat itu? Aku menggenggam gelas kopi lebih erat.
“Omong-omong, sedang apa kau di sini? Tentunya bukan untuk mewawancaraiku lagi, kan?” Adrian menyesap kopinya.
“Wawancara Dirut-mu,” ujarku enggan.
“Jam tujuh?”
“Delapan,”
“Kau datang terlalu pagi,” Adrian menggeleng. “Dia pasti belum datang.”

“Ini ritualku. Kalau aku harus menghadapi sesuatu yang besar, aku harus datang jauh sebelum waktu yang ditentukan. Semacam sugesti. Entah kenapa aku jadi merasa lebih siap.” Aku memperhatikan mobil-mobil mewah yang merapat di parkiran CNA. “Apa kalian memang harus punya mobil sehebat itu?”

Adrian melempar pandangannya ke arah parkiran. “Itu parkiran khusus bos.”
“Jadi kau baru saja memarkir mobilmu di sana?” sindirku.

Adrian mengangkat bahu. “Menurutmu?”
Well, jawaban yang tidak sesuai harapan.
“Ruang Dirut ada di lantai atas?”
“Ya. Di lantai 50. Kita bisa ke atas bersama kalau kau mau,” Adrian meneguk kopinya dengan cepat, menghabiskannya dalam sekali buka mulut.

Aku mengangguk, membiarkan Adrian menuntunku ke lantai 50. Sepanjang kami menaiki lift dan berjalan di koridor, semua kepala menunduk-takut atau hormat aku tak tahu-yang jelas, terlihat sekali pria 27 tahun ini begitu disegani.
“Kau bisa menunggu di sini kalau mau,” Adrian membawaku ke sebuah ruang tunggu yang cukup luas. “Klien biasa menungguku di sini.” 

Ruang tunggu klien milik sendiri? Kelewatan.
“Minum?” Adrian mengangkat telpon di sebuah meja kecil.

“Kopiku bahkan belum habis,” aku menyerngit.
“Aku harus kembali ke ruanganku,” kata Adrian seraya melihat jam tangannya. “Kau bisa menggunakan telpon itu untuk memesan makanan atau minuman. Gratis.”
“Terima kasih,”
Adrian tersenyum kecil kemudian berbalik dan masuk ke sebuah ruangan di sebelah ruang Dirut. Di pintu kayu coklat besar yang baru saja tertutup di belakang Adrian, terdapat tulisan: General Manager.
Adrian Maha Deva. 27 tahun. Manajer umum sebuah perusahaan luar biasa.
Augusta Riifa Fatahillah. 23 tahun. Pembantu Roger yang serba bisa.
Dengan enggan, kubuka data mengenai si direktur utama dan berusaha menyamankan diri di ruangan terbuka tapi ber-AC itu. Tenggelam dalam lautan tulisan, aku tersentak saat telpon biru di meja kecil berdering.

Kepalaku celingak celinguk memeriksa sekeliling. Sepi.

“Siapa yang harus mengangkat telpon ini? Aku?”

Deringan sempat berhenti selama beberapa detik kemudian berdering lagi.
“Oke. Pekerjaan baru. Tukang angkat telpon CNA.”
Terdengar hening di seberang.
“Halo?” sahutku ragu.
“Jangan menguap seperti bapak-bapak di kantorku,”
Aku terlonjak kaget. “Adrian?” mataku bertemu dengan mata Adrian yang menatap lewat jendela kaca. Satu sisi ruangan Adrian dibatasi jendela kaca yang memungkinkan si manajer dilihat semua karyawan saat sedang bekerja.

Adrian tertawa mengejek. “Tampangmu oke juga saat sedang menguap.”
“Tutup mulutmu, dasar makhluk jahat!” mendadak aku merasa malu. “Mana ada manajer yang iseng menelpon ke saluran tempat memesan makanan?”
“Terserah aku, kan? Ini kantorku. Siapa kau?” balas Adrian.
Konyol dan tak terduga. Orang seserius Adrian melakukan percakapan aneh denganku ditelpon, padahal kami bisa bertemu dan hanya dibatasi tembok kaca. Waktu terbang dan terasa cepat. Adrian berbisik.
Dia datang,”
Aku dan Adrian buru-buru menutup telpon saat sang Dirut berjalan menuju ruangannya. Setelah melihatku sekilas, pria berbadan besar itu memberi kode untuk menunggu kemudian menemui manajernya yang sudah berdiri hendak menyambut.
“Dia yang akan mewawancaraiku, kan?” tanyanya pada Adrian.
“Ya.” Adrian mengangguk.
“Siapa namanya?”
“Gadis dua setengah sendok krimer,” jawab Adrian.
Aku melotot. Si Direktur Utama mengerutkan dahinya.

“Apa?” tanyanya lagi.
Dasar tidak hapal nama orang!
Adrian menuntun bos-nya berjalan menuju ruangan. Matanya melirikku sejenak, memaku padangan kami bertemu dalam jeda yang menyesakkan.
Aku terdiam.
“Augusta Riifa Fatahillah,” ucap Adrian. “Itulah namanya.”
Semua barang-barang mendadak menghilang dari pandangan. Yang ada di benakku hanya mata dan suara Adrian yang mengucapkan namaku. Nama lengkapku.
“Kau hapal namanya. Kalian kenal?” suara Dirut mengecil, mereka masuk ke ruangan.
Adrian menyahut, suaranya terdengar keras di telingaku. “Begitulah.”
Tiba-tiba aku merasa dungu. Pikiranku langsung kacau. Persis seperti anak TK yang begitu menginginkan balon tapi tak memiliki uang untuk membelinya.
Si lulusan Harvard. Si manajer umum CNA.
Si pria 2,5 sendok krimer.

Bersambung ke #3rd day…

No comments:

Post a Comment