#1st Day - Pertemuan

Pukul 17.06 - Ladybug Resto
  
“Kau tahu kenapa tempat ini jadi favoritku? Karena dari kaca besar ini,” kutunjuk lapisan jendela kaca raksasa tembus pandang di sebelahku, “aku bisa melihat orang-orang lewat. Berangkulan, bermesraan, saling melempar senyum, menyerahkan segala meski yang dicinta belum tentu jodohnya.”
“Demi Tuhan, singkirkan pikiran bodoh itu!” umpat Moca tak sabar.
“Adikku Mario, si gitaris band kampungan itu,” kataku. “Punya kekasih.”

“Lalu?”

“Aku muak dengan percintaan. Kenapa semua pria hanya selalu berlagak sok perhatian, sok memberikan segalanya, sok menampung segala masalah, tapi kemudian pergi dan menghilang?”
“Itu kan cowok brengsek. Dan nggak semua cowok di dunia ini brengsek.”

“Sebutkan satu contohnya!”
Moca termangu. Sama sekali tak berusaha menjawab. Keningnya berkerut, kulihat lalat hinggap di ujung hidungnya yang lancip.

“Pasti ada. Suatu saat…” katanya pasrah.
“Tutup mulutmu.”
Kami menghabiskan cemilan sore dalam diam. Moca sesekali melirikku, membujuk lewat matanya. Yang dibujuk hanya menatap sahabatnya hampa.

Misery - Maroon 5 mengalun.
“Kau bercanda?! Aku kan baru keluar kantor!” protesku saat Arya, teman sesama editor memintaku kembali ke kantor.
“Perintah Roger,” katanya memelas.

Roger sialan.
Moca melambai dramatis, meminta izin pulang duluan.

“Aku tahu kau lelah, aku tahu kau mengedit banyak naskah. Tapi, kuharap kau jangan menyerah.” Arya berpuisi. “Selamat bekerja!”
Dan aku tahu kesialan memang selalu datang. Kau tahu? Terkadang aku berpikir aku ini sangat memikat. Memikat hal-hal sial untuk datang dan mengacaukan hari. Memikat sekumpulan setan untuk mampir dan merusak segala sesuatu. Hampir tak ada yang berjalan lancar.
23 tahun. Single. Dan sedang bicara dengan tembok kaca.
“Terkutuklah pria-pria yang mengabaikanku,”

Pukul 18.17 - Real Magazine
“Apa kau sudah makan?” tanya Roger, tangannya meraup semua kertas-kertas di atas meja.
“Aku-"

“Sebaiknya kau sudah makan karena klien yang satu ini sangat sibuk. Dia mendadak mengonfirmasi setuju untuk diwawancarai satu jam yang lalu. Dia sekarang sedang kesini,” Roger melirik jam tangan super mahalnya. “Mungkin lima menit lagi sampai.”
“Apa yang harus-"

“Ingat mahasiswa lulusan Harvard yang diterima di CNA dengan nilai terbaik?”
"Ya,” kataku. “Sepertinya.”
“Kau akan mewawancarai dia.”
“Aku? Kenapa aku? Aku kan editor,”
“Carol mendadak harus membawa anaknya ke rumah sakit, Garry mendadak harus ke luar kota.”

Dan aku mendadak ingin membunuhmu.
“Ini,” Roger memberikan setumpuk kertas padaku, melempar tepatnya. “Artikel berisi keterangan tentang pria yang akan kau wawancarai ini. Pastikan pertanyaanmu berkualitas. Demi nama baik majalah kita, kau harus menyusun materi sesempurna mungkin!”
Demi kelegaan jiwa, aku harus mencungkil matamu sesegera mungkin.
“Kau pergi?” tanyaku kaget saat Roger meraih jasnya.
“Kenapa juga aku harus di sini?”
“Tapi, kupikir tokoh ini begitu pentingnya sampai-“
“Aku ada urusan. Lagipula, kau akan lebih leluasa mewawancarainya tanpa ada yang mengawasi, kan? Pakai saja ruanganku.” Roger melambai, kemudian berhenti di depan lift. “Jangan sentuh pena emas di kotak merah, itu dari mantan istriku.”

Lift berdenting. Roger menghilang. Aku termangu.

Bagaimana bisa. Bagaimana bisa aku begitu ingin menjadi editor di majalah ini hanya untuk merasa terdampar tak berguna. Semacam penghapus di pantat pensil. Terlihat kecil, rapuh, jelek. Tapi begitu semua menjadi kacau, aku-lah yang harus memarut muka menyelesaikan semua.
Bagaimana aku akan menemukan jodoh kalau setiap hari harus berkutat dengan segala kampret ini? Bagaimana, Tuhan? Aku yakin Tuhan bahkan malas menatapku.
Kubuka-buka artikel dengan enggan. Perutku mulas.
Setengah jam sudah.

“Roger, si lulusan Harvard itu belum datang juga. Apa aku bisa minta nomor-“
“Tunggu saja. Demi Tuhan, Riifa, aku sedang menyetir!”
Telepon terputus. Tanpa hasil dan tanpa nomor ponsel si lulusan Harvard.

Dan tentu saja aku harus terus menunggu di sini, kalau perlu sampai sekuriti mengunci semua pintu di lobi utama. Kurasa aku bisa menginap di sini. Tidur di sofa merah kesayangan Roger yang berisi bulu angsa itu, menyelimuti tubuh dengan mantelku yang lembut, mandi di kamar mandi khusus Roger yang lantainya sebersih lantai masjid itu.
Satu jam sudah.
Langit gelap. Suasana kantor mulai tak bersahabat. Koridor remang-remang dan aku mulai berhalusinasi melihat kelebatan bayangan putih hitam. Hitam putih. Atau apalah yang jelas membuat bulu kudukku merinding.
Aku tidak sungguh-sungguh ingin menginap di sini.

“Moca? Ini aku. Aku terjebak di kantor.”
“Kenapa bisa?” suara Moca meninggi. Intonasinya seperti mengatakan,“Kenapa bisa kau sebodoh itu?”
“Bukan terkunci. Roger memintaku menunggu si lulusan Harvard untuk wawancara dan pria jahat itu belum datang. Kau tahu? Kalau semua pria sebrengsek ini, aku akan menikah saja dengan Arya.”
Moca tertawa. “Kau frustasi. Tapi, Arya memang baik.”
“Ya, kan?” mendadak ide untuk menikahi teman sekantorku menjadi semacam penerang jalan. Gagasan brilian untuk wanita yang terseok di jalan percintaan.
“Hentikan khayalanmu. Menikahi pria sebaik itu hanya akan membuatnya menderita. Cepat angkat bokongmu dari tempat itu, tunggu di luar. Wawancara bisa di mana saja, kan?”
Setelah berdebat sengit tentang kata-kata ‘Menikahi pria sebaik itu hanya akan membuatnya menderita’, aku menutup telpon dan secepat kilat berlari menuju lift. Aku akan menunggu si lulusan Harvard di lobi luar, mengajaknya ke Ladybug, melakukan wawancara seadanya, kemudian pulang dan bersua dengan ranjang.
Lift terbuka. Terlihat seorang pria berjas, berdalaman kemeja biru langit, berkacamata. Tanpa melirik ke arahku, dia masuk ke dalam lift sementara aku bergegas keluar. Bahu kami bertabrakan.

Lift tertutup di belakangku.

….
Seorang pria yang bukan karyawan kantor. Terlihat rapi dengan dandanan kelas atas, wangi parfum yang harganya berjuta-juta, dan menuju lantai tempat kantor Roger berada.

Rasanya ingin pipis.

“Si lulusan Harvard!” aku berbalik, memukul-mukul pintu lift yang tertutup seperti barbar. Kutekan semua tombol lift di dinding seperti kesetanan. Inilah dia. Mengecewakan satu klien penting. Dia pasti sedang celingak-celinguk di atas.

Saat aku akhirnya berhasil masuk dan keluar lift dalam hitungan sekon, kulihat pria itu duduk di sofa yang tadi kududuki. Terlihat tenang dan santai, seperti sedang menunggu kekasihnya yang terlambat lima menit. Kakinya terjulur ke depan dengan satu tangan menopang dagu. Pandangannya lurus menatap keluar.

Seperti lukisan.
“Halo,” sapaku ragu.
Dia menoleh kaget, kemudian menatapku sejenak.
“Kau yang akan mewawancaraiku?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Maaf kalau situasinya agak kurang mengenakkan,”
“Nggak masalah. Lagipula aku sedang senggang.”
Aku tersenyum manis sebisaku -yang pasti terlihat seperti sedang menahan ingin buang air besar- dan duduk di kursi komputer di depannya.

“Apa kita bisa pindah? Tempat ini gelap sekali.”

“Tentu saja. Bagaimana kalau Ladybug?” aku menawarkan.
“Pilihan bagus. Aku suka ke sana,” si lulusan Harvard tertawa kecil, memperlihatkan barisan giginya yang putih.
Ladybug. Tempat favoritku. Aku pasti lebih santai kalau berada di sana.

Di dalam lift, kusodorkan tangan ke arahnya.
“Augusta Riifa Fatahillah,”
Wajah serius si lulusan Harvard berubah cerah. “Daritadi kita belum berkenalan, ya?” ujarnya.
Aku mengangguk kecil. Diam-diam jantungku bergejolak melihat mata coklat di balik kacamatanya. Pria ini benar-benar seperti lukisan. Tidak sepertiku, dia pasti bisa mendapatkan jodoh dengan mudah. Tinggal tunjuk dan selesailah sudah. Tuhan, terkadang hidup ini memang kejam.

Tangan besarnya terulur. “Adrian Maha Deva.”

Satu nama. Satu pertemuan. Yang akan mengubah hidupku selamanya.

Lanjut ke #2nd Day…

No comments:

Post a Comment