#3rd Day - Pancake Vanilla

Pukul 12.19 - Redaksi Dream
Mengecek email, melirik jam kubus, menguap pada Arya, menatap malas pada Mely, mengabaikan tumpukan naskah, mengumpat pintu ruangan Roger, kemudian mengecek email lagi. Rutinitasku berputar seperti bianglala bangsat besar yang sesat. Aku seratus kali lebih bosan dari biasanya. Mungkin kalau aku bisa menjadi editor People atau Times, dunia ini akan terasa seringan debu.
“Jangan mimpi,” celetuk Arya tanpa menoleh padaku.
“Apa?” hidungku berkerut.
“Kau pasti sedang merutuki kehidupanmu di sini, kan?” kata Arya mantap, tangannya mengoreksi beberapa naskah dengan cekatan.
“Demi Tuhan, kau seorang cenayang?”
Arya memutar bola matanya dengan dramatis. “Rekan kerja selama hampir 3 tahun, enam hari dalam seminggu duduk di sampingmu, sepuluh jam sehari mengamati gerak gerikmu. Aku sudah hapal arti raut mukamu, hebat kan?”
“Itu lebih terdengar mengerikan,” aku menyerngit.
Tanpa diduga, Roger menghambur keluar dari ruangannya sambil menatapku dengan kelaparan. Seperti harimau yang siap menerkam rusa, sapi yang berenang di atas gunungan rumput, lebah yang jatuh cinta pada madu, gembel yang diberi cek 1M.

“Kau gila!” teriaknya begitu sampai di mejaku.
Semua rekan-rekan di sekitar yang sok sibuk serempak menoleh ke arah kami. Gerakan mereka cepat dan berbarengan, berbeda sekali dengan saat disuruh bekerja.
Bagus. Belum makan siang, mati kebosanan, dan dikatai gila oleh atasan.
Boleh aku terjun dari lantai tujuh ini?
“Kau editor tergila yang pernah kutemui!” katanya antusias. “Direktur utama CNA memuji caramu mewawancarainya, dia suka hasil tulisanmu. Dan kau tahu, si gendut berdasi mencekik leher itu bahkan bilang kalau majalah kita pasti majalah terbaik di Jakarta!”
Hidungku mengembang. Itu kedengarannya berita bagus.
“Benarkah?” tanyaku gugup seraya berdiri karena Roger sepertinya hendak menyalamiku. Ternyata, si gila itu bahkan memelukku dengan girang.
“Kembali bekerja!” perintahnya dengan senyum selebar telinga.
Aku termangu, begitu juga manusia-manusia di sekitarku. Arya bahkan terlihat jijik, kepalanya mundur ke belakang secara spontan begitu aku beralih padanya.

“Kau dipeluk si Kepala Batu,” gumamnya.
“Semua orang di lantai ini melihat itu,” kataku. “Kau percaya? Aku, the-unlucky-woman-who is-living-in-her-own-fvcking-life berhasil melakukan wawancara dengan tokoh penting dan berhasil dengan telak?”
“Nama lengkapmu hebat,” Arya menumpuk naskah-naskah dengan rapi, meletakkannya di sudut meja. “Sudah saatnya gadis malang juga mendapatkan keberuntungan,” sahut Arya. “Makan siang?”
“Jangan bilang kau sudah tahu aku berniat mentraktirmu.”

Pukul 12.35 - Ladybug Cafe
Aku menyendok pancake strawberry kesukaan Arya saat aku yang benci manis ini tahu-tahu ngiler pada si bulat pink yang wangi itu. Aku sendiri memesan pancake vanilla, yang bahkan belum kusentuh sama sekali.
“Sebelum ini kau juga mewawancarai manajer CNA, kan?” Arya menyuap pancakenya. “Adrian Maha Deva?”
“Kau tahu dia?” mendengar nama Adrian entah kenapa membuat perutku geli.

“Siapa yang nggak kenal dia? Dan lagi, aku ini orang majalah.”
“Ya, aku mewawancarainya. Tapi sepertinya hasil wawancaraku nggak membuatnya terkesan.”
 Arya tertawa. “Siapa yang peduli pendapat manajer kalau bos besar saja sudah menyebutmu hebat?” 

Tapi, aku peduli.
Eh?!
“Kenapa juga aku harus peduli?!” teriakku kaget. Tanganku menjambak rambut dengan anarkis. Arya tersedak.
“Kenapa tiba-tiba berteriak?” tanyanya heran.
“Aku baru saja memikirkan sesuatu yang terlarang. Yang bahkan lebih memalukan dari bercumbu dengan waria atau mengunyah kucing hidup-hidup!” aku menyendok pancake dengan ukuran besar, memasukkannya ke mulut dalam sekali suap.
Meski wajah Arya terlihat aneh, sendokan demi sendokan terus masuk ke mulut hingga wajahku membulat dan tak bisa bicara lagi.
“Ya ampun, apa yang kaulakukan?” Arya mulai terlihat stres berlebihan.
Dan saat itulah nasib kembali mempermainkanku. Setelah melambungkan perasaan hingga ke negeri Zeus, nasib kini membiarkanku jatuh. Terjun bebas tanpa parasut, tanpa aba-aba, tanpa peringatan. Aku mendarat di Jahanam, babak belur tanpa luka memar. Luka dalam parah.
Berjalan dengan santai bersama bosnya, lewat di samping Ladybug, menatap ke dalam, bertemu dengan mataku, bertemu dengan pancake dalam mulutku. Langkahnya terhenti.
Aku pasti sudah mati.

“Adrian Maha Deva,” kudengar Arya berucap.
Itu memang dia. Berdiri tepat di seberangku, di luar sana. Bersama si direktur utama yang sama ternganga dengan manajernya. Pancake vanilla keparat.
“Itu si editor, kan?” si bos bicara pada Adrian. Yang ditanya hanya mengangguk.

Adrian tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri diam, terpana pada pemandangan langka di hadapannya, mulai terlihat jijik pada kelakuan wanita yang baru dikenalnya.
“Ayo ke dalam dan temui dia,” kata si bos.

Petir, ayo sambar aku.
Ketika dua manusia itu berjalan masuk, kukerahkan semua otot wajah untuk mengunyah dan mendorong masuk gumpalan pancake vanilla. Arya menyodorkan lemonade padaku yang langsung kuhisap dengan brutal. Pancake meluncur masuk tepat saat Adrian dan bosnya berdiri di samping mejaku. Aku bahkan tak ingat rasanya.
“Halo, Pak,” kataku kikuk seraya mengulurkan tangan menyalami si direktur. “Apa kabar?” tanyaku pada keduanya.
“Jadi baik setelah melihat pipimu yang penuh tadi,” si direktur terbahak, pipiku pasti semerah pantat bayi yang alergi bedak.
“Anda ingin makan siang disini?” tanyaku basa-basi.
“Boleh juga. Bagaimana menurutmu, Manajer?” dia beralih pada Adrian yang hanya berdiri bisu.

Adrian mengangguk.

“Oh, ini teman sekantorku, namanya Arya,” aku memperkenalkan Arya yang dengan sigap berdiri dan menyalami dua pria yang menjungkir balikkan makan siang kami.
Si bos mengambil posisi meja tepat di sebelah mejaku. Mereka memilih-milih makanan sambil bergumam tentang saham. Jauh di dalam hati, ada sesuatu yang gatal menggangguku.
Bagaimanapun, aku dan Adrian saling mengenal. Aku bahkan melakukan telpon konyol dengannya tiga hari yang lalu. Tidakkah seharusnya saat bertemu kami bisa bicara lebih banyak? Seperti saat kau mendapat teman baru di sekolahmu. Tidakkah kau melakukan setidaknya percakapan ringan? Kalian toh berteman.

Tapi, Adrian bahkan tak menatapku lama.
“Realita,” celetuk Arya.
“Apa?”
“Kau pasti sedang bertanya-tanya kenapa si manajer sama sekali nggak menegur atau berbasa-basi denganmu padahal kalian saling kenal, kan?” ucapan Arya melesat seperti peluru shotgun beracun seharga ratusan juta.
“Kau mulai membuatku takut dengan kemampuan itu,” aku bergidik. “Well, aku sama sekali nggak peduli dia mau apa. Itu kan urusannya.”
“Wajahmu nggak menunjukkan itu,” sergah Arya.
“Habiskan makan siangmu dan kita cepat pergi dari sini,” desisku.
Arya hanya mengangkat bahu tak peduli sambil menghabiskan pancake strawberry-nya dengan terburu-buru. Sesekali aku melirik ke arah Adrian, tapi pria itu sama sekali tak melirik ke arahku.
Aku tahu.

Inilah realita yang kerap terjadi di kehidupan para dewasa. Status, pekerjaan, lingkungan bergaul. Semua tentang kelas dan tingkatan sosial. Sebenarnya aku sudah bisa menduga semua. Orang sekelas Adrian yang mobilitasnya tinggi, pasti malas berbasa-basi denganku yang terlihat santai dan membumi.
Aku tahu. Tapi, rasanya lebih baik tak tahu.
Saat Arya meminta bill pada pelayan, Adrian dan si bos mulai memesan makanan. Posisi pelayan berada sebaris denganku, tapi pandangan Adrian juga lurus padanya. Sama sekali tak membelokkan mata sekedar melirik alih-alih tersenyum. Tahukah rasanya mendapat teman baru kemudian mendadak kalian jadi orang asing? Percayalah, rasanya memuakkan.
Arya masih menyesap coklat panasnya dan aku mulai bermain-main dengan lemonade yang hampir habis. Pancake vanilla tersisa sepotong di piring, sama sekali tak membuatku berselera. Ini makanan favoritku, harusnya mood-ku naik sekarang. Sebaliknya, aku malah ingin cepat-cepat menghambur keluar dan menghilang. Kalau saja bisa menembus kaca, aku pasti sudah melakukannya.
Pesanan mereka datang saat aku pamit seadanya pada si direktur, tanpa sedikitpun melirik ke arah Adrian yang menyambut makan siangnya. Arya tersenyum kecil pada mereka dan cepat membawaku keluar.

“Brengsek,” makiku pelan.
“Jangan menyalahkannya, salahkan sifatnya,” kata Arya santai.

Aku tak menanggapi, rasanya terlalu malas mengangguk apalagi bicara.
Kami berjalan melewati sisi kaca Ladybug, aku bisa melihat piring dan gelas makan siangku diangkut oleh seorang pelayan. Dari balik kaki pelayan aku juga melihat sekilas sepatu Adrian.
Aku menunduk.
Kami hampir melewati Adrian dan bosnya yang sedang makan siang, saat tiba-tiba aku begitu ingin menoleh ke arah pria sombong itu. Perasaan ini muncul mendadak, mencuat cepat dari hati dan memenuhi kepala. Begitu menggebu-gebu dan mendesak. Aku mendadak salah tingkah.
Demi Tuhan.
Sementara Arya mengoceh tentang hasil jepretan Harry yang sempurna untuk artikel andalannya, aku menuruti teriakan bodoh di kepala untuk menoleh ke arah Adrian. Dan saat itulah aku tahu jantungku berhenti berdenyut.
Adrian sedang menoleh ke arahku.
Dia tak mengatakan apa-apa, hanya menatapku sendu dari balik kaca. Aku balik menatapnya dengan tanda tanya di atas kepala, dengan jantung yang bahkan tak terasa denyutnya.
Ia masih menatapku.
Saat kuputuskan mengakhiri drama tatapan mematikan itu, aku melihat makan siangnya yang masih tergeletak utuh di hadapannya.

Pancake vanilla.
Bersambung ke 4th Day…

No comments:

Post a Comment