#5th Day - Lucky I'm in Love

Pukul 23.09 - Apartemen

Aku menggeliat di kasur ditemani suara dengkuran Moca. Kemarin malam, di jam seperti ini aku masih berdiri dengan senyum kaku jelek di pesta CNA. Adrian menyuruhku menunggu di ruangannya sebentar sementara dia akan bergegas keluar pesta. Itu rencana kami, tapi si bos besar keburu melihatku. Pria gendut itu malah menarikku masuk ke pesta dan mau tak mau Adrian juga harus mengikuti acara itu sampai akhir.
Dia mengantarku pulang dan itulah pertemuan terakhir kami.
Tidak. Aku tidak sedang berpikir ingin terlibat sesuatu dengan pria itu. Anggap saja kami memang teman yang ditakdirkan terus bertemu. Anggap dia seperti Arya atau Harry.
Mana bisa.
“Rii, ponselmu!” kudengar Moca merengek.
“Apa?” kuraba ponsel di bawah bantal dengan kaget. Sebuah nama lengkap muncul di layar, kontak yang bahkan baru 24 jam yang lalu kusimpan.

“Untuk manajer penting ini memang masih jam sibuk, tapi untuk editor biasa sepertiku ini sudah jam tidur,” sahutku. Debaran kecil mulai menggebuk hati.
Kudengar Adrian tertawa renyah. “Tapi, ibu editor nyatanya belum tidur, kan?”
“Belum, tapi bisa saja aku mengabaikan telponmu.”
Mana mungkin.

Adrian tertawa lagi. “Aku menyerah.”
“Ada apa?”
Well, bosku ingin kau datang di acara pernikahan putri bungsunya. Gadis itu penggemar berat artikel kecantikan yang kau tulis dan kedatanganmu mungkin bisa jadi kado bagus untuknya.”
Itu mengejutkan. “Benarkah? Oke. Kirim tanggal dan tempatnya padaku.”
“Segera. Well, sampai bertemu disana!”
“Oke.”
Tidak ada ajakan berangkat bersama? Tidak apa-apa. Ini toh hanya pesta pernikahan. Lagipula siapa yang peduli pada ajakan datang bersama saat sadar kenyataannya lagi-lagi kami masih bisa bertemu? Hah.
Pesan Adrian sampai. Acaranya 4 hari lagi, di Hotel Ritz. Bagus.
“Pacarmu?” gumam Moca.
“Tiruan Hugh Jackman,” jawabku seraya menarik selimut. “Mo, besok kosongkan jadwalmu karena aku akan membutuhkanmu untuk mengobrak-abrik Jewerly.”

“Kita akan belanja?” mata Moca membelalak.

“Aku.”
“Kau mau kemana?”
            
“Ke tempat pertemuan kelima berlangsung.”

Pukul 09.34 - Jewerly
“Kami bahkan belum membereskan barang,” celoteh pelayan toko yang dipaksa Moca membuka pintu lebih cepat.
“Jaga bicaramu, Nona muda. Temanku yang tabungannya segunung ini berencana memborong barang-barang terbaikmu.” Moca tersenyum.
Aku dan Moca berkeliling Jewerly sambil terkikik mencoba banyak gaun yang pinggangnya seramping Barbie anoreksia. Pinggangku tak pernah menyentuh ukuran kemben terkecil, jadi kami harus mencari gaun super cantik dengan pinggang cukup besar yang tampilannya akan membuat pinggangku kelihatan kecil. Terkutuklah gaun serumit itu.

“Kau suka ini?” Moca menarik sebuah gaun sepanjang lutut berbahan kaku dan berbelahan dada agak rendah. Gaun yang cantik tapi tak membuatku tertarik.
“Ini?” gaun berbahan sifon lembut bercorak ungu, berpotongan lurus dan ramping. Dan lebih cocok dipakai oleh Moca. Aku menggeleng.
“Nah, kau pasti suka yang ini!” Moca memutar sebuah gaun putih dengan bordiran merah keemasan, berbahan kaku yang agak mengembang di bagian lutut. Gaun itu tak berbelahan dada, hanya lurus menutupi bagian bawah leher dengan lengan potong.
“Sepatu,” kataku sambil menyeret Moca dan gaun di tangannya.
Setelah berputar dan mencoba sekitar dua lusin sepatu, akhirnya pilihan jatuh pada heels 12cm berwarna merah gelap. Kami menemukan tas tangan berwarna putih keemasan, mencari tusuk rambut untuk gelungan rambutku, kemudian ke salon untuk memesan tempat.
Semua persiapan selesai.
“Apa ini berlebihan?” tanyaku di dalam taksi. Belanjaanku tertumpuk di bawah kaki kami. Moca menyerngit.
“Kita nggak akan tahu apa yang akan terjadi. Semua bisa tampak mustahil tapi berjuta kemungkinan selalu ada. Lakukan yang terbaik dan kau akan lega.”
“Demi Tuhan, kau bicara seakan-akan tujuanku datang hanya untuk memikat si tiruan Hugh Jackman!”

“Memang, kan?”
“Hei, aku ini hanya akan menghadiri pernikahan anak si bos itu!”
“Siapa yang tahu kalau ternyata beberapa tahun lagi kalian akan menikah?”

“Blah, menikah? Jangan bicara bodoh.”

Bodoh? Tanyakan pada Tuhan apa yang terjadi nanti.

Pukul 19.04 - Ritz Hotel
Datang ke acara pernikahan anak dari seseorang yang baru beberapa kali kutemui tanpa undangan resmi mungkin satu dari sedikit hal tak tahu malu yang tak mungkin kulakukan dalam keadaan normal.
Pertama, aku harus menemui si pengantin yang mengidolakanku itu. Tidak ada kenalan kecuali si bos besar dan Adrian, harga diri harus segera kuselamatkan.

“Riifa!” gadis yang rambutnya dicat pirang itu memelukku dengan erat begitu aku melambai ke arahnya. “Lihat gaun yang kau pilih, dan sepatu luar biasa itu!”
Aku tertawa. “Kita bisa membicarakan banyak hal tentang kecantikan, tapi jangan di upacara pernikahanmu.”
“Terima kasih sudah mau datang walaupun tanpa undangan resmi,” dia menyodorkan tangan. “Namaku Angel.”

“Ya, Adrian sudah memberitahuku.”
Mata sipit Angel membesar. “Kau pacaran dengan Adrian?”
Aku tertawa. Suara tawa paling garing yang pernah keluar dari mulutku. “Kami hanya teman. Lagipula, ayahmu yang menyuruhnya menghubungiku.”
“Sayang sekali, padahal kalian serasi,” sahut Angel kecewa.

Angel pamit untuk menyalami tamu yang lain sementara aku berkeliling ruangan sambil berusaha menenangkan hati yang melesak ke perut akibat kata-kata serasi yang berefek seperti ranjau keparat.

“Sendirian?”
Seorang pria berambut coklat, berjas abu-abu tua, dan senyum yang meyakinkan, berdiri di sebelahku. Satu bagian rambutnya turun ke atas alis.
“Yah, sepertinya begitu,” kataku.
"Aku nggak pernah melihatmu. Kau datang darimana?”
“Aku editor Dream, Riifa.”
“Aku Kepala Keuangan CNA, Randy,” tangannya terulur. “Bagaimana kau bisa berada di sini?”
“Sebenarnya, aku kenal dengan direkturmu,” kataku.

Randy tersenyum kecil, matanya tak mau lepas menatapku. Disaat-saat seperti ini harusnya aku lega karena mendapat teman bicara. Tapi entah kenapa rasanya gerah dan tak nyaman, seperti sedang ditelanjangi perlahan-lahan.
“Kau mau jadi pasanganku di pesta ini?” tanyanya. Melihat air mukaku mulai berubah, dia buru-buru menjelaskan. “Aku nggak bermaksud apa-apa. Kau datang sendirian, begitu juga aku. Kita bisa berkeliling bersama kalau kau mau. Ini hanya tawaran biasa.”
Benar. Ini tawaran biasa. Tapi, aku tak ingin. Tak ingin berpasangan dengan pria ini. Demi Tuhan, disaat-saat seperti ini aku malah memikirkan hal-hal aneh.
“Halo, semua.”

Seperti tersengat pantat tawon raksasa, darahku mengalir cepat dan memuntahkan adrenalin segalon saat Adrian tiba-tiba muncul di antara kami. Kedatangannya seperti pahlawan kesiangan, dan well, dia terlihat sangat tampan. Jas hitam itu terlihat seperti kotak perhiasan mahal yang membungkus seuntai kalung berlian dengan rapi.
“Hai,” sapaku.
“Kalian kenal?” tanya Randy padaku dan Adrian.
“Kalian kenal?” tanya Adrian balik padaku dan Randy.
“Aku baru saja mengajak Riifa menjadi pasanganku di pesta ini.” Randy berpaling padaku. “Bagaimana?”
Mendadak semburan adrenalinku macet. “Apa?”

Adrian tertawa kemudian menepuk pundak Randy. “Gerakan yang cepat, ya! Oke, aku harus bertemu direktur. Sampai ketemu lagi!”

Dan tanpa menoleh padaku, pria itu berjalan menjauh menuju kerumunan para petinggi CNA. Paru-paruku mendadak kehabisan udara. Untuk apa gaun cantik ini? Untuk apa sepatu dan gelungan rambut ini? Ini memang bukan khusus untuknya, tapi aku sama sekali tak menyangka kalau akan diabaikan seperti ini.
Sialan.
Randy mengajakku bergabung dengan rombongan tempat Adrian dan direktur berada. Kulihat pengantin sedang bercengkrama dengan teman-teman mereka. Moca. Harusnya aku mengajak Moca. Tidak. Harusnya aku memang tidak usah datang.
“Hei, Riifa, terima kasih sudah mau datang,” direktur menyalamiku kemudian berpaling pada Randy. “Kau bersama Randy?” tanyanya. “Kupikir kau bersama dengan Adrian.”

Kulihat Adrian menoleh sesaat begitu namanya disebut.
Aku berusaha tertawa. “Kenapa aku harus bersama Adrian? Aku datang karena undangan Anda dan karena putri Anda.”

“Kupikir kalian pacaran,” katanya.
Randy berdehem sementara aku terdiam.

Tiba-tiba lampu mati. Satu lampu sorot besar mengarah pada pasangan pengantin yang bersiap melantunkan sebuah lagu. Mereka saling menatap manja saat musik mulai mengalun dan para tamu undangan bertepuk dengan riuh. Direktur bahkan mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk melambai pada putri bungsunya.
“Do you hear me? I’m talking to you…”
“Lucky,” aku tersenyum senang. Ini bukan lagu favoritku, tapi karena Moca sering memutarnya di apartemen, suasana jadi lebih terasa nyaman.
Aku menjauh dari kerumunan para antek-antek CNA, rasanya ingin melepas tusukan rambut amethyst maroon andalanku, ingin menenteng sepatu baru merah ini kemudian berjalan terseret keluar tanpa alas kaki.
Tapi, melihat pengantin yang begitu bahagia, rasanya tak ada alasan untuk buru-buru pergi. Terlebih, gadis itu penggemarku. Senang rasanya punya penggemar.

“Berniat pulang?”
Adrian tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku, menyelinap dalam gelap. Matanya fokus ke arah panggung.

“Kenapa aku harus pulang?” tanyaku.
“Oh, kupikir kau menyesal sudah datang,” katanya.
Aku hanya diam. Seluruh dunia seperti selalu bisa menebak kelakuanku. 

“They don’t know how long it takes, waiting for love like this,” Adrian membuka suara.

“Hei, suaramu bagus,” potongku kaget.
Adrian tersenyum kaku. “Everytime we say goodbye, i wish we had one more kiss. I wait for you, i promise you. I will…” 

Kami saling menatap dengan canggung selama beberapa detik kemudian terbahak bersama. Adrian menggelengkan kepalanya sementara aku berusaha menutup mulut dengan tas tangan. Ini senyum terlebar yang baru pertama kali kulihat. Saat tangannya meraih tanganku untuk dibawa kembali ke kerumunan, aku tahu aku sudah benar-benar terjatuh. 

Lucky i’m in love…
Bersambung ke #6th Day….

No comments:

Post a Comment