Ah, perasaan tak nyaman ini datang lagi.
Suara penggorengan berisi nasi goreng, kendaraan yang lalu lalang, dan obrolan orang-orang. Suasana yang sama sekali tak mendukung untuk berduaan, tapi aku masih dapat memandangi lelakiku dengan khusyuk dan hanya mendengar suaranya saja. Dia suka sekali nasi goreng kambing, jadilah cerita kami terhenti tiap kali dia mengunyah. Sesekali dia mengangkat kepalanya dari piring lalu tersenyum padaku, meminta kekasihnya maklum. Aku yang biasanya balik tersenyum, kali ini malah lebih ingin memalingkan wajah. Ada raut yang ingin kusembunyikan, melihat wajahnya sekarang hanya membuat perasaanku makin runyam saja.
"Pulang, yuk," katanya setelah membayar makanan. Aku mengikutinya menuju parkiran motor yang agak jauh. Tangan kami saling menggenggam, tapi yang kulakukan hanya terus menunduk menatap jalan. Gelap. Hitam. Betapa aku ingin sekali mendadak melebur jadi aspal.
Aku menolak dipasangkan helm olehnya. Tapi, dia tak peduli.
"Kamu kenapa, sih? Biasanya juga aku yang pasang," katanya sambil menjawil hidungku.
Di atas motor, perasaanku makin berantakan.
"Besok mau ikut mengantarku ke stasiun?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk. Stasiun. Besok, lelaki yang sedang kupeluk ini akan pergi. Sekali lagi, meninggalkanku dan kota ini. Aku, lagi-lagi, akan menangis dan sengsegukan seorang diri. Tak juga terbiasa akan perpisahan yang pasti terjadi. Lelakiku asyik bercerita sementara aku menatap lampu-lampu jalan dengan hampa.
Butuh berapa lama lagi hingga aku bisa mendekap punggungnya seperti ini? Harus menelan rindu sebanyak apa lagi hingga akhirnya aku bisa menghirup parfumnya yang samar terbawa angin? Berapa ratus hari lagi yang harus kulewati dengan menghitung kepulangannya, hanya untuk kemudian melepasnya, di tempat yang sama sambil berair mata?
Pundakku mulai bergetar.
Wahai Tuhan sang pemilik waktu, aku tak ingin cepat-cepat besok. Wahai Tuhan sang pemilik jarak, aku tak ingin lagi terpisah tempat. Rasanya lelah terus menerus menarik napas dalam-dalam saat tak bisa memeluk lelaki ini dengan leluasa. Rengekanku tak sekadar ingin nonton berdua atau makan bersama seperti pasangan selayaknya, aku hanya ingin lelaki ini selalu berada di sisi.
"Bersabarlah sebentar lagi, ya. Bersabarlah sekali lagi."
Dia meraih tanganku, diletakannya di perut bersama dengan tangannya yang hangat. Aku mengamini kata-katanya, berusaha menjejalkannya di kepala. Tak sesiapa, tak juga kita, paham bahwa perpisahan akan selalu perkara rela.
Malam ini, kami bersama. Malam esok, sudah berbeda kota. Ritual mengabari tiap malam akan dimulai lagi, percakapan kecil dengan muka mengantuk di awal hari. Harus puas dengan suara, harus kembali bergulat dengan khawatir, harus menerbangkan banyak doa lagi.
Kemudian sekali lagi, kami menyanyikan lagu wajib tiap kali selesai bertukar kabar.
"Aku di sini dan kau di sana, hanya berjumpa via suara, namun ku s'lalu menunggu saat kita akan berjumpa. Meski kau kini jauh di sana, kita memandang langit yang sama. Jauh di mata namun dekat di hati..."
Kepada angin yang menerbangkan air mata, aku ingin sekali lagi menitip doa. Jagalah lelaki ini, buat dia tersenyum saat harinya sedang sulit. Jangan biarkan dia kesepian saat tak ada seorang pun yang dapat dia andalkan. Aku ingin dia baik-baik saja hingga kami bertemu lagi.
"Aku benci stasiun," gumamku.
"Aku pun," gumamnya. Kemudian kami tertawa.
Berkali-kali dipisahkan keadaan, kami masih saja bersama.
Anggap aku sok tahu, tapi sungguh, inilah yang orang sebut cinta.