Ya ampun. Bisa-bisanya aku yang super sibuk ini duduk selama dua jam di dalam mobil, melamun sambil terus melirik ke arah TK, dan melengos mendapati pacarku belum juga selesai mengajar. Aku seperti remaja tolol yang mabuk cinta, rela melakukan apa saja, padahal pujaan hati sudah di tangan. Tidak, tidak. Aku tidak mengeluh. Aku hanya tidak habis pikir pada diriku sendiri. Bisa-bisanya bertekuk lutut dan jatuh cinta setengah mati pada gadis yang bahkan di pertemuan pertama tidak kukenal sama sekali. Cinta yang dimulai dengan cepat, cinta yang sensasinya membanjiri darah dan membuatku rela membusuk di mobilku sendiri demi menungguinya. Setiap hari.
Asca muncul dari kerumunan muridnya. Rambutnya lagi-lagi berantakan, blus biru mudanya lagi-lagi tak selamat dari cipratan cat air atau krim kue. Wajahnya selalu sama, ekspresi lelah campur bahagia. Ah Tuhan, kenapa Kau bisa menciptakan makhluk seperti dia. Tidakkah dia harusnya ada di surga, bersayap, dan menari-nari dengan selendang? Ah Tuhan, kenapa baru sekarang aku bertemu dia.
"Apa kau sedang melamun?" Asca menyerngit begitu masuk mobil. Aku menggeleng sambil tersenyum. Senyum yang terlalu lebar hingga Asca tertawa. "Jangan pasang muka konyol begitu."
Kenapa ya. Aku yang gengsinya sebesar dunia bisa mengalah begitu rupa.
"Kau tahu, tadi Jonny menggigit kaki Ghea dan mereka adu tonjok. Untung saja Eric bisa membantuku menenangkan mereka, kalau nggak mereka bisa saling menyakiti. Kadang aku kagum dengan kemampuan Eric melemahkan hati anak-anak. Ia hanya tersenyum manis, merangkul anak-anak, dan para bocah itu langsung menurut." Asca tertawa.
"Jadi, siapa Eric yang senyumnya manis ini?" tanyaku. Demi Tuhan. Ia bahkan belum pernah bilang senyumku manis dan sekarang malah memuji senyum pria lain.
"Temanku, guru menggambar. Kau pernah bertemu dengannya, kan? Yang waktu itu memberimu lukisan abstrak."
Pria itu. Aku ingat. Sayangnya yang kuingat adalah pria itu tampan, punya lesung pipi yang dalam, mata coklat seperti almond, dan berbadan proposional. Astaga, aku mulai berpikir kalau pria itu sebenarnya model berkedok guru TK dan berniat mencuri bidadariku.
"Lalu, Eric bilang aku-"
"Sayang, aku nggak suka kau membicarakan dia."
Asca terdiam. Ia mengerjap beberapa kali sambil menatapku. Aku tidak balas menatapnya dan mulai menyetir dengan gaya khas remaja norak yang cemburu. Asca menggeleng. "Kau cemburu?" tanyanya.
Asca terdiam. Ia mengerjap beberapa kali sambil menatapku. Aku tidak balas menatapnya dan mulai menyetir dengan gaya khas remaja norak yang cemburu. Asca menggeleng. "Kau cemburu?" tanyanya.
"Aku hanya nggak suka. Titik."
Aku benar-benar berharap Asca tertawa seperti biasa dan mengataiku terlalu posesif. Tapi pacarku itu malah diam dan terkesan tidak suka pada kelakuanku. Aku menoleh padanya dan mendapati wajah datarnya yang sama sekali tak menatapku. Aku menarik nafas dalam-dalam, berharap bisa mencabut kembali kata-kata yang entah kenapa malah membuatnya marah.
Kadang aku merasa hanya aku yang jatuh cinta padanya.
Tidak apa-apa. Aku dan Asca sedang saling diam, duduk di kafe dan makan pancake tanpa suara, menyeruput teh pun tanpa suara. Kafe yang luasnya hampir sebesar lapangan futsal jadi terasa sesempit lift yang berisi orang-orang gendut yang salah satu dari mereka secara tidak tahu malu malah kentut. Aku benar-benar sulit bernafas sekarang.
Aku melirik Asca yang ternyata juga sedang melirikku. Kami terus saling menatap sampai ia bangkit. "Aku mau ke toilet," katanya.
Saat Asca berlalu dan menghilang di bilik toilet, aku menggelayut lemas di kursi seperti balon kempes. Pacarku yang hatinya sehalus debu itu jarang sekali marah, bahkan setelah hampir setengah tahun kami bersama. Aku membatalkan janji pergi ke danau, terlambat dua jam saat kencan ketiga, menabrak pagar TK-nya, dan semua hal menyebalkan yang pernah kulakukan tak pernah membuatnya marah. Ia pernah marah dan mengabaikanku seminggu lamanya saat menemukan botol bir di mobil. Sejak saat itu aku bersumpah tidak akan minum lagi, setidaknya tidak di depan Asca.
Dan pacarku yang jarang marah itu kini sedang marah. Ya Tuhan, sebesar apa sebenarnya otak yang kupunya di balik tengkorak ini.
"Zach, kena kau!"
Aku hampir menjerit melihat Scarlet berdiri di samping mejaku dengan senyum penuh kemenangan. Demi Tuhan, bagaimana dia tahu aku ada disini. Oke, sejak aku bilang padanya aku akan bertemu ibu dari anak-anakku enam bulan yang lalu, secara mengerikan mantanku ini mulai sibuk mencari tahu siapa wanita yang kumaksud. Dan kalau kubilang mengerikan, berarti benar-benar mengerikan. Scarlet menanyai semua teman-teman kami, mencurigai setiap wanita yang terlibat obrolan seru denganku di facebook atau twitter. Dia gila dan aku tahu itu, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Yang kutahu dengan pasti, semua itu bukan karena dia masih menginginkanku. Ini semua hanya soal dirinya yang tak mau dikalahkan. Dia jelas ingin tahu siapa wanita yang berhasil membuatku melambaikan selamat tinggal padanya.
Dan aku benar-benar tak ingin wanita ini bertemu Asca. Mereka jauh berbeda, seperti dua negara di dua benua. Asca seperti Swiss sementara Scarlet persis New York campur Israel. Nah, aku mulai tak mengerti dengan kalimatku sendiri.
"Pergilah," kataku. Percuma menanyakan apa yang dia lakukan disini sementara aroma perusak hubungan mulai menyeruak dari tubuhnya. Scarlet melotot.
"Dulu kau nggak pernah berani mengatakan itu padaku," protesnya. "Oh bagus, lihat piring itu. Kau sedang berkencan dengan calon ibu dari anak-anakmu, hah?"
"Oh Scarlet-ku yang nggak tahu malu, dulu ya dulu. Memangnya seperti apa dulu kau memperlakukanku? Dan lagi, aku makan dengan siapapun bukan urusanmu. Kau tahu, aku makan rumput di tengah gunung bersama kambing hutan pun, sama sekali bukan urusanmu."
"Ya ampun, kau masih suka bicara tolol,"
"Dan akhirnya aku menemukan wanita yang mau menerimaku yang tolol ini, kan? Aku menemukan wanita yang nggak menyebutku luar biasa hanya karena aku sekarang jadi hebat."
"Melankolis sekali," Scarlet duduk di kursi Asca. Aku buru-buru bangkit dan menarik lengan kurusnya dengan cepat.
"Aku nggak menyuruhmu duduk, apalagi disitu,"
Scarlet bangkit dan menarik kursi lain. Kini kami saling menatap dengan keji dan aku benar-benar cemas menunggu Asca kembali. Aku sangat ingin pacarku itu tiba-tiba sakit perut atau mendapat mens tapi tidak memakai pembalut hingga ia harus berlama-lama di toilet sampai aku bisa mengusir Scarlet pergi. Bukannya menyumpahi, ini demi kebaikannya. Demi kebaikan kami.
"Temanmu?"
Asca, yang terlihat sehat dan pastinya sedang tidak mens atau sembelit, muncul di tengah-tengah aku dan Scarlet. Ia seperti melesat begitu saja dan tidak menapak lantai karena aku sama sekali tidak menyadari kehadirannya.
Aku meraih tangannya. "Kau nggak perlu tahu siapa dia,"
"Scarlet, mantan pacar Zach." Scarlet mengulurkan tangan. Sebentuk senyum menggaris di bibirnya yang penuh dan merah. Sungguh mengerikan. Pria bangsat macam apa yang dulu pernah tergila-gila dan memujanya.
Kulihat Asca tersenyum hambar. "Senang bertemu denganmu, Scarlet."
Aku bangkit dengan cepat dari kursi dan langsung meraih tangan Asca. "Oke Scarlet, dengan ini selesai sudah reuni mengharukan kita. Terima kasih sudah datang, semoga kita nggak pernah bertemu lagi."
Kulihat wajah Scarlet memerah bersiap marah saat Asca melepaskan tangannya dari cengkramanku. "Nggak apa-apa, kalian mengobrol saja. Sebenarnya aku masih ada urusan di TK. Aku duluan ya," Asca meraih tasnya, tersenyum pada Scarlet, dan berlalu meninggalkanku.
Aku membatu. Ini pasti mimpi. Aku pasti sudah mati.
Scarlet tertawa girang. "Calon ibu dari anak-anakmu sama sekali nggak cemburu melihat kita. Normalnya, dia akan marah-marah dan memelototiku. Tapi, lihat dia."
Kalimat Scarlet sama brengseknya dengan alarm pukul lima pagi.
"Biar kutebak, kau yang jatuh cinta padanya tanpa yakin dia juga jatuh cinta padamu. Ya kan?" kata Scarlet lagi. Aku mendadak tersadar, bangun dari mimpiku sendiri. Itu adalah sesuatu yang tak ingin kuyakini, sesuatu yang mati-matian kutepis. Scarlet dengan mulut tanpa saringannya, membantuku mengeluarkan kenyataan itu dari dasar otak.
Mungkin memang hanya aku yang sedang jatuh cinta.
---------------------------------------------------------------------------------
Baca cerita selanjutnya: Celemek Merah Muda 3
"Pergilah," kataku. Percuma menanyakan apa yang dia lakukan disini sementara aroma perusak hubungan mulai menyeruak dari tubuhnya. Scarlet melotot.
"Dulu kau nggak pernah berani mengatakan itu padaku," protesnya. "Oh bagus, lihat piring itu. Kau sedang berkencan dengan calon ibu dari anak-anakmu, hah?"
"Oh Scarlet-ku yang nggak tahu malu, dulu ya dulu. Memangnya seperti apa dulu kau memperlakukanku? Dan lagi, aku makan dengan siapapun bukan urusanmu. Kau tahu, aku makan rumput di tengah gunung bersama kambing hutan pun, sama sekali bukan urusanmu."
"Ya ampun, kau masih suka bicara tolol,"
"Dan akhirnya aku menemukan wanita yang mau menerimaku yang tolol ini, kan? Aku menemukan wanita yang nggak menyebutku luar biasa hanya karena aku sekarang jadi hebat."
"Melankolis sekali," Scarlet duduk di kursi Asca. Aku buru-buru bangkit dan menarik lengan kurusnya dengan cepat.
"Aku nggak menyuruhmu duduk, apalagi disitu,"
Scarlet bangkit dan menarik kursi lain. Kini kami saling menatap dengan keji dan aku benar-benar cemas menunggu Asca kembali. Aku sangat ingin pacarku itu tiba-tiba sakit perut atau mendapat mens tapi tidak memakai pembalut hingga ia harus berlama-lama di toilet sampai aku bisa mengusir Scarlet pergi. Bukannya menyumpahi, ini demi kebaikannya. Demi kebaikan kami.
"Temanmu?"
Asca, yang terlihat sehat dan pastinya sedang tidak mens atau sembelit, muncul di tengah-tengah aku dan Scarlet. Ia seperti melesat begitu saja dan tidak menapak lantai karena aku sama sekali tidak menyadari kehadirannya.
Aku meraih tangannya. "Kau nggak perlu tahu siapa dia,"
"Scarlet, mantan pacar Zach." Scarlet mengulurkan tangan. Sebentuk senyum menggaris di bibirnya yang penuh dan merah. Sungguh mengerikan. Pria bangsat macam apa yang dulu pernah tergila-gila dan memujanya.
Kulihat Asca tersenyum hambar. "Senang bertemu denganmu, Scarlet."
Aku bangkit dengan cepat dari kursi dan langsung meraih tangan Asca. "Oke Scarlet, dengan ini selesai sudah reuni mengharukan kita. Terima kasih sudah datang, semoga kita nggak pernah bertemu lagi."
Kulihat wajah Scarlet memerah bersiap marah saat Asca melepaskan tangannya dari cengkramanku. "Nggak apa-apa, kalian mengobrol saja. Sebenarnya aku masih ada urusan di TK. Aku duluan ya," Asca meraih tasnya, tersenyum pada Scarlet, dan berlalu meninggalkanku.
Aku membatu. Ini pasti mimpi. Aku pasti sudah mati.
Scarlet tertawa girang. "Calon ibu dari anak-anakmu sama sekali nggak cemburu melihat kita. Normalnya, dia akan marah-marah dan memelototiku. Tapi, lihat dia."
Kalimat Scarlet sama brengseknya dengan alarm pukul lima pagi.
"Biar kutebak, kau yang jatuh cinta padanya tanpa yakin dia juga jatuh cinta padamu. Ya kan?" kata Scarlet lagi. Aku mendadak tersadar, bangun dari mimpiku sendiri. Itu adalah sesuatu yang tak ingin kuyakini, sesuatu yang mati-matian kutepis. Scarlet dengan mulut tanpa saringannya, membantuku mengeluarkan kenyataan itu dari dasar otak.
Mungkin memang hanya aku yang sedang jatuh cinta.
---------------------------------------------------------------------------------
Baca cerita selanjutnya: Celemek Merah Muda 3
No comments:
Post a Comment