Tiga

Aku dan Theo 

Tiga tahun yang lalu.

Cowok polos itu menyapaku dengan senyum kecil yang disertai semburat merah di pipi. Cowok baik hati itu kulihat sedang mengayuh sepeda dengan girang sementara anak-anak lain mengebut dengan motor. Entah bagaimana kami bersahabat.

Tiga bulan yang lalu.
           
Ia menertawakanku yang tersungkur di kafe saat kami makan siang bersama. Ia membawakanku masakannya sendiri, ayam teriyaki andalannya. Ia mengomel saat kusuruh mendorong mobilku yang mogok di depan kompleks. Ia menendang ban mobilku saat aku pulang pagi.
           
Tiga hari yang lalu.
           
Aku dilamar Joe, kekasihku. Aku melihat air mata, untuk pertama kalinya di wajah Theo. Aku tak tahu kalau berita pertunangan yang menggembirakan semua orang ini akan menghancurkan hidup sahabatku. Aku baru tahu kalau cowok mungil berkacamata itu, ternyata mencintaiku. Aku dan dia tak lagi bersahabat.


Aku dan Joe
            
Tiga tahun yang lalu.
            
Gitaris keren itu manggung di kafe favoritku. Gitaris beralis tebal dan berlesung pipi itu cipika cipiki dengan fans-fansnya. Kami sama sekali tak saling mengenal, aku pengunjung dia penghibur. Tapi aku tahu, saat itu aku jatuh cinta.
            
Tiga bulan yang lalu.
            
Ia membentakku di kafe tempat kami pertama kali bertemu. Ia menjungkirbalikkan meja hingga semua pecah berantakan dan seisi kafe menoleh. Ia memelukku sambil meminta maaf sementara aku terdiam. Ia berjanji panjang lebar dan membuatku melupakan semuanya.
            
Tiga hari yang lalu.
            
Aku dilamar Joe, kekasihku. Aku tercenung, terjebak dalam perasaan tak tergambarkan yang aneh. Aku tahu. Aku sadar inilah harinya. Aku dipinta oleh seseorang untuk menjadi istrinya, dan orang itu adalah Joe-ku. Aku melihat air mata merebak di pelupuk mata Theo. Aku mendengarnya mengatakan sesuatu dan sejak itu sepertinya kami tak lagi bersahabat.


Aku dan Mereka
            
Tiga tahun yang lalu.
            
Aku bertemu dengan seorang cowok manis yang tersenyum kecil di taman komplek bernama Theo. Saat itu, aku sedang dalam perjalanan ke kafe yang kemudian mempertemukan aku dan Joe, si gitaris beken. Aku dapat sahabat sekaligus cinta baru.
            
Tiga bulan yang lalu.
            
Aku menelpon Theo saat mobilku mogok, cowok itu terus menceramahiku sambil memperbaiki letak kacamatanya. Aku menangis tak karuan di ayunan depan rumahnya, mengeluhkan pertengkaran dengan Joe. Aku dan Joe akhirnya berbaikan. Aku luluh dalam pelukannya, lupa pada semua nasehat Theo.
            
Tiga hari yang lalu.
            
Aku dilamar Joe, kekasihku. Aku ternganga, hatiku berbunga tapi sulit merasa bahagia. Joe sempat kaget karena lamarannya tak membuatku menangis. Aku akhirnya kaget karena ternyata melihat air mata Theo dan mengetahui ia mencintaiku lebih ingin membuatku menangis. Aku ingin melebur dengan tanah.

“Jadi, selama ini kau selingkuh dengan Theo? Kupikir kau dan si kutubusuk itu hanya bersahabat,” sembur Viane.
            
“Kami memang bersahabat,” sahutku. “Harusnya tetap begitu.”
            
“Dan apa maksud si kutubusuk bilang kalau dia mencintaimu saat kau mengumumkan pertunanganmu dan Joe?”
            
“Aku nggak tahu.”
            
“Apa dia pikir, pernyataan tololnya membuatmu pusing setengah mati kemudian merenung bahwa sebenarnya kalian mencintai? Kau lalu membatalkan pertunangan dengan Joe, melempar cincin pada wajah kekasih tiga tahunmu, berlari ke kamar si kutubusuk dan mengikrarkan cinta kalian. Memangnya kau Mary Jane? Memangnya si kutubusuk itu Peter Parker?”
            
“Berhenti menyebutnya kutubusuk,” sahutku lelah.
            
“Tatap aku. Apa kau benar-benar memikirkan gagasan bangsat itu?” Viane menudingkan telunjuk lentiknya ke arahku. Kakakku ini memang yang paling tahu cara mengintimidasi.
            
“Aku nggak sebodoh itu. Lagipula, ini bukan sinetron.”
            
“Jadi, nggak akan ada lari di tengah-tengah upacara pernikahan?”
            
“Gaunku tiga meter.”
            
“Nggak akan ada pembatalan tiba-tiba saat pernikahan tinggal sehari lagi?”
            
“Gedungku super mahal.”
            
“Nggak akan ada tangisan menyesal karena kau ternyata mencintai Theo?”
            
“Kalaupun ya, aku akan melakukannya di kamar sendirian.”
            
“Bagus. Pastikan pikiranmu tetap sehat!” Viane berkedip sambil meraup kertas-kertas desain gaun pengantinku. Begitu kakakku keluar kamar, aku melompat ke sofa putih di dekat jendela kemudian membiarkan otakku perlahan menguap terkena sinar matahari yang menyengat.
            
Rumah coklat besar yang lantainya kayu di depan itu, rumah Theo sahabatku. Aku sering membantunya mengepel lantai dengan air dan campuran lilin agar kayu-kayu itu awet. Aku dan Theo sering sengaja berlarian seperti bocah lima tahun sambil terkikik, hanya untuk mendengar suara derap kaki kami yang menginjak lantai.
            
Ingatan ini tak akan membuatku membatalkan semua. Ingatan ini tak akan membuat dadaku sesak dan akhirnya memilih Theo. Hanya saja memang, setelah sesuatu yang tak mengenakkan terkuak dan membuat retak, sulit untuk kembali utuh. Theo pasti lebih tahu kalau pernyatannya itu pasti akan membuat segala sesuatunya berubah. Tapi aku juga tahu, dia tak akan melakukan sesuatu yang kelak akan disesalinya.
            
Selama aku bersama Joe, bukan berarti aku tak bersama Theo. Banyak hal yang kami lakukan bersama sementara aku membagi jadwal untuk bersama Joe. Aku dan Joe butuh waktu-waktu khusus untuk bertemu dan tatap muka sementara aku dan Theo lebih banyak menghabiskan waktu yang tak terencana.
            
“Apa aku nggak bisa punya sahabat dan suami sekaligus tanpa ada masalah berarti?” tanyaku pada Viane semalam.
            
“Nggak, kalau sahabatmu itu jatuh cinta padamu. Muatan cinta hanya dua orang, memasukkan orang ketiga hanya membuat cintamu karam.”
            
Aku tahu.
            
Tapi rasanya tak ingin tahu.


Setelah hampir sebulan tak bertegur sapa, Theo akhirnya mau mengangkat telponku. Ia bicara seperti mesin es. Kaku, dingin, dan tak terkendali.
            
“Masih ingat aku?” tanyaku senang.
            
“Nggak lucu. Katakan apa maumu.”
            
"Hei, aku ini sahabatmu, kan?”
            
“Lalu?”
            
“Kau nggak boleh memperlakukanku begini. Kau itu tamu kehormatan di pernikahanku nanti.”
            
“Hanya itu yang mau kaukatakan?”
            
“Kau mengangkat telponku pasti karena kau ingin mendengar suaraku, kan?” teriakku kesal. “Jangan berlagak terluka. Memangnya kau pikir aku mau menanggung rasa bersalah saat harusnya aku sedang berbahagia? Memangnya kau pikir aku bisa dengan mudah menerima kenyataan kalau lamaran Joe bahkan nggak lebih mengharukan dibanding ayam teriyakimu?”
            
Theo tak mengatakan apapun.
            
“Kau pernah bilang kalau Joe adalah pria brengsek, dan pria brengsek hanya akan berjodoh dengan wanita brengsek. Benar, kan? Jodoh Joe ternyata aku. Aku wanita brengsek. Aku sibuk memikirkan ingin memasak teriyaki bersamamu saat Joe menyiapkan kejutan ulang tahun untukku, aku sibuk mengkhawatirkan sahabatku yang dirawat di rumah sakit sementara kekasihku sendiri habis kecelakaan di kota lain,” suaraku meninggi. “Aku brengsek, kan?”
            
“Kenapa kau nggak bilang padanya? Kenapa kau nggak bilang padaku?” tanya Theo. Kudengar nafasnya naik turun.
            
“Karena, ada banyak orang yang akan hancur karena egoku. Ada banyak hati yang kecewa, marah tak tertahan, sakit hati tak tergambar. Kau sendiri yang pernah bilang bahwa hanya orang egois yang membiarkan egonya berjalan dan mengabaikan hati orang lain.”
            
Theo terdiam.
            
“Aku bukan sedang sok suci. Tapi, ini memang kenyataan. Lagipula, kau tahu, aku mencintai pria itu. Walaupun dia sering membuatku menangis, sering mengabaikanku, sering nggak tepat waktu. Tapi, dia juga yang paling sering memelukku, mendengar keluh kesahku, membuatku jatuh cinta berkali-kali. Dan dia bilang, aku bisa jadi ibu yang hebat buat anak-anaknya.”
            
Theo bersuara. “Jadi, kau nggak berniat lari denganku?”
            
“Kau bukan tipe pria seperti itu.”
            
“Kau nggak berniat membatalkan apapun?”
            
“Lebih baik aku mati.”
            
Theo tertawa. Tawa tertahan yang sudah tiga bulan tak kudengar.
            
“Aku memang tak sebaik yang Joe pikir. Aku nyatanya masih memikirkan pria lain saat bersamanya meski itu sahabatku sendiri. Tapi, aku yakin dia tak salah saat bilang aku bisa jadi ibu yang hebat buat anak-anaknya,” aku ikut tertawa, tawa dengan setitik air di ujung mata.
            
“Kita akan tetap jadi sahabat selamanya?” tanya Theo.
            
“Ya. Kecuali kalau kau Peter Parker.”
            
Theo tertawa, kali ini aku tahu itu tawa lepas yang bebas. Kami kembali menjadi kami tiga tahun yang lalu. Yang saling melempar senyum kecil di taman, sekitar tiga jam sebelum aku dan Joe bertemu.


Tiga menit yang lalu, aku kembali memeluk sahabatku. Tiga menit yang lalu, aku tahu cinta itu begitu merdeka. Tiga menit yang lalu, aku belajar bahwa dengan mengorbankan ego pribadi, kita bisa membuat banyak orang bahagia. Tiga menit yang lalu, aku sadar bahwa saat orang lain bahagia, hatiku ikut mekar berbunga.

Tiga minggu lagi, aku akan menikah. Tiga minggu lagi, Theo akan duduk di kursi paling depan, sebagai sahabat yang cintanya telah merdeka. Tiga minggu lagi, Joe akan mendapatkanku sebagai istri dan ibu anak-anaknya.

Tiga detik lagi, cerita ini baru akan dimulai.


P.S. Cerpen ini diikutkan dalam Proyek 11 Hari Ulang Tahun Nulis Buku.

No comments:

Post a Comment