Ini tidak benar. Aku tidak mungkin terus diam sementara keadaan terasa semakin gila. Tidak. Ini memang sudah gila sejak lima tahun yang lalu, tapi keadaannya tidak pernah sampai membuatku nyaris berteriak seperti saat ini. Ada banyak hal gila, seperti yang terjadi dalam kebanyakan hidup manusia. Bahkan kebanyakan hal itu berefek mematikan berujung kematian. Aku punya banyak daftar orang-orang terdekat yang mengakhiri hidup perkara stres. Dan parahnya, adik semata wayangku terlihat lebih mengerikan dari itu. Ia bersemangat, berteriak sambil tertawa, mengumbar senyum pada semua orang, tapi hatinya mati di dalam.
Lebih baik melihat orang yang sungguhan sudah mati.
“Apa dango itu juga untuk si Kapten Tersayangmu?” tanyaku saat Megumi berderap heboh mengangkat dango buatannya dari panci.
Megumi mengangguk cepat sambil mencicipi dangonya.
“Dan lagi-lagi dango itu akan dibawa ke rumah untuk kau jual lagi karena si Kapten lagi-lagi tak mau menyentuhnya, dan kalau dango terkutuk itu tak juga laku, kau baru akan memberikannya pada kakakmu. Ya, kan?”
“Kau semakin pintar,” sahutnya.
“Tentu saja. Melihat seorang wanita keras kepala yang mondar-mandir membawakan dango setiap pagi untuk seorang mantan kapten perang yang kerjanya berlutut di depan makam.”
Kalimat itu rupanya menembus jantung adikku.
“Kau tidak berhak bicara begitu tentangnya.”
“Kenapa tidak? Semua orang bicara begitu tentangnya. Sejak lima tahun yang lalu, kau tahu itu, tapi tak mau tahu dan tak ingin tahu.”
“Kau bahkan tidak mengenalnya dengan baik!” Megumi mengikat kotak dangonya dengan kuat, rahangnya terkatup rapat.
“Oh, jadi sejauh apa kau mengenalnya?”
Megumi telah terbiasa menghadapi serangan semacam ini. Wajahnya merah menahan marah, tapi tetap tak mengatakan apapun untuk membalasku. Ia hanya mengibas rambut kuncirnya ke arahku, tersenyum kecil, kemudian mencari bakiaknya yang kusembunyikan di kamar mandi.
“Aku tahu bakiakku ada di kamar mandi,” katanya bangga.
“Persis seperti perasaanmu, kan? Kau tahu dimana letak kapten dalam hatimu. Dia di tempat yang mudah kau jangkau, mudah kau lihat, tapi tak pantas berada di sana. Bakiak cantikmu tak pantas berada di kamar mandi meski kelihatannya lebih dekat.”
“Kau menyamakan kapten-ku dengan bakiak?” protesnya.
“Memang. Dimana kau ‘meletakkan’ pria itu selama ini? Di bagian kecil hatimu, tapi pria itu nyatanya menguasai semuanya. Dia bisa menguasai seluruh hatimu saat dia bahkan tak mengatakan apapun.”
“Kau tidak tahu caranya mencintai seseorang,” ucap Megumi, langkahnya tertahan di depan pintu menunggu balasanku.
“Memang. Tapi aku tahu batas-batas mencintai. Aku tahu kapan harus berhenti dan kapan harus sadar diri.”
Kapten Nagano, lagi-lagi menggeleng dan menatap adikku dengan hampa. Kotak dango yang dibungkus optimis dan senyum sejuta matahari, lagi-lagi dibawa pulang. Adikku Megumi, lagi-lagi tersenyum miris pada pujaannya sambil membungkus kotak dangonya. Berlagak baik-baik saja, berusaha membuktikan kalau ia setia.
Kelakuan tolol yang membuatku muak.
Aku sudah bersiap di depan pintu, memegang buku sambil bersila dan bersiap dengan ceramah soreku. Motivasi dari seorang kakak yang lelah melihat adiknya membungkus dango untuk seseorang yang tak tergapai.
“Bukankah sudah ku-“
Tuhan, kau pasti sedang bercanda.
Adikku, Megumi Kurokawa, yang hatinya sekeras baja, yang senyumnya seabadi es di Kutub Utara, yang tawanya secerah matahari di penghujung dunia… menangis. Megumi-ku menangis.
“Apa yang dilakukan si brengsek itu padamu?” hardikku saat Megumi menghindari tatapanku. Ia menggeleng kesal.
“Kenapa kau pikir ini gara-gara kapten?”
“Memangnya siapa lagi yang bisa membuatmu mengeluarkan air mata cengeng selain ayah, ibu, dan dia? Kau terakhir kali menangis lima tahun yang lalu, saat ayah dan ibu meninggal. Kau tahu, aku bahkan yakin kau tak akan menangisku kalau aku mati nanti.”
Megumi menarik nafas dalam-dalam sambil berusaha menghapus airmatanya. “Tinggalkan aku sendiri.”
“Tidak akan. Kau bisa saja bunuh diri.”
“Tidak mungkin. Siapa yang akan menyemangati kapten kalau aku mati?”
Kesabaranku mulai habis. “Apa pria yang sedang berlutut itu, yang kepalanya sekeras batu itu, yang selama lima tahun kau tunggui itu, pernah memintamu mengemis cintanya? Apa pria itu pernah memintamu menunggunya? Apa pria itu pernah memintamu untuk menderita atasnya?”
“Aku tahu dia. Aku tahu tiap hal dari dirinya yang tak diketahui orang lain.” Megumi mulai terisak.
“Sebutkan lima untukku!” sambarku tak sabar. “Tidak. Tiga. Sebutkan tiga hal yang kau ketahui dengan baik tentang dirinya!”
Seketika Megumi terdiam. Air matanya menetes lagi.
“Bagus. Jawaban yang bagus!” aku berderap keluar. Megumi bahkan tak mencegahku meski ia tahu tujuanku adalah kapten-nya. Ini desakan sejak lima tahun yang lalu, yang harusnya kukatakan sejak lama, yang sangat ingin kumuntahkan ke muka sang mantan kapten perang.
Inilah saatnya.
Nagano, yang hanya empat tahun lebih muda dari ayahku, bahkan tak menoleh saat aku berdiri berkacak pinggang di seberang makam istrinya. Istrinya yang meninggal lima tahun lalu karena bom atom Nagasaki, yang juga menjadi penyebab ayah dan ibuku tewas. Tapi, setidaknya aku bangkit. Kami semua kehilangan dan bangkit. Pria ini sama sekali tak punya kekuatan semacam itu.
“Kau kenal Kurokawa, kan?” tanyaku.
Nagano mendongak, menjawab pertanyaanku dengan anggukan.
“Selama lima tahun ini kau mencium aroma dango buatannya, kan? Selama lima tahun ini setiap pagi kau berlutut disini bersamanya, kan? Selama lima tahun ini gadis itu selalu berusaha membuatmu kembali tertawa, kan?” suaraku makin meninggi. “Kenapa kau tidak bisa memberinya sedikit saja balasan senyuman? Kenapa kau tidak bisa langsung mengusirnya? Akan jauh lebih menyenangkan untuk adikku kalau kau berteriak dan bilang kalau dia mengganggumu. Kau tahu, dia pasti akan melakukannya!”
Para tetangga mulai berkumpul.
“Dia akan tertawa saat kau bilang tertawa dan dia akan enyah saat kau bilang enyah. Kumohon, lepaskan adikku dari derita bodoh ini. Dia menenanimu selama lima tahun, oke, aku tahu kau tak memintanya, tapi tidakkan dia pantas mendapatkan sedikit perhatianmu? Kau bisa melakukannya, kan?”
Nagano berdiri. Aku bersiap mendengar balasan keji. Atau bahkan tinju mematikan di perut atau apapun. Dia mantan kapten perang yang bisa mematahkan rusuk dan rahangku bahkan hanya dengan tatapannya saja.
“Aku mencintai istri dan anakku yang sedang dikandungnya. Aku mencintai mereka yang menungguku pulang dari medan perang, aku mencintai keyakinan mereka padaku bahwa aku akan pulang. Pada akhirnya saat aku pulang, mereka juga pulang. Kalau aku boleh membenci Tuhan, harusnya aku sedang membenci-Nya sekarang.”
Aku terdiam.
“Istri dan anakku, meski sudah tidak ada, tetap akan jadi kekuatanku untuk hidup. Mereka memberiku nyawa lewat kenangan. Mereka mencintaiku, tapi aku tahu mereka tak ingin aku bunuh diri. Inilah caraku bertahan. Dengan tetap berlutut di depan makam, menengadah pada Tuhan. Dan mungkin, itu juga cara adikmu bertahan hidup. Membuakan dango yang meski tak kumakan tapi tetap membuatnya senang, menemaniku berlutut meski aku bahkan tak menoleh ke arahnya.”
Nagano menatap nisan istrinya. “Kau pasti terus bertanya sejauh apa dia mengenalku, kan? Kenapa dia terus bersikeras mengenalku? Karena dia memang mengenalku.”
Saat Nagano pergi, kepalaku terasa seperti dipukul bolak-balik. Mendadak terasa sangat pusing, seakan akan ada tanduk yang tumbuh di bagian belakang kepala, melengkung ke bawah, dan tembus ke jantung.
Megumi melangkah perlahan, matanya bengkak menatapku. “Dia pria penyayang, yang terus berusaha tetap kuat untuk mendoakan orang yang dicintainya. Begitu juga aku, Shin. Aku memang terlihat rapuh dan pasrah padanya, tapi itu karena aku tahu aku mencintai orang yang tepat.”
Aku mengangguk kecil, tenggorokanku sakit.
“Kelak, aku akan menemukan seseorang yang ingin kujadikan suami dan ayah dari anak-anakku, yang akan jadi adik iparmu. Tapi itu nanti. Ada saatnya, saat Tuhan berkata aku harus berhenti. Dan rasanya, Tuhan belum mengatakan itu padaku.”
“Kelak kau akan menikahi pria lain, kan?” tanyaku.
“Mungkin?” jawab Megumi.
“Sebutkan tiga hal yang kau tahu tentangnya,”
“Hebat, hebat, hebat.” Megumi tersenyum. “Benar, kan?”
“Ya,” aku mengangguk pelan.
“Aku mengenalnya, Shin. Aku tahu dia punya mata coklat yang indah, aku tahu dia sebenarnya orang yang romantis, aku tahu dia sangat suka anak-anak, aku tahu dia suka makan dango,” suara Megumi melemah. “Kalau Tuhan menyiapkan masa depanku bersamanya, aku bisa menjadi istri yang hebat. Mungkin tak bisa menggantikan istrinya, tapi setiap hari aku akan tersenyum dan tertawa untuknya. Aku akan memasakkan dango sebanyak yang dia inginkan.”
Megumi dan Nagano. Dua manusia yang punya cinta tak terbatas, yang masing-masing tahu benar siapa yang mereka cintai dan bagaimana cara menjaga cinta itu. Nagano telah kehilangan sementara Megumi sama sekali tak takut kehilangan. Nagano menjaga cintanya dalam diam sementara Megumi membalutnya dengan tawa. Mereka sama. Dan aku baru menyadarinya.
Hidup memang hanya sebuah cerita. Kau bisa mengarang cerita apapun, tapi Tuhan tetap akan menyeleksi alur akhirnya. Nagano mungkin sudah mengacaukan hati adikku sebagaimana banyak hati mengacaukan hati yang lain, Nagano mungkin sudah membuang-buang waktu berharga adikku sebagaimana banyak hati membuang hati yang lain. Tapi, hati toh akan terus hidup.
“Kalau bukan Tuhan yang memelihara, pasti hatimu sudah hancur.”
Megumi tertawa sambil menyumpal dango ke mulutku.
Aku memang tak bisa melihat garis perak di langit, tak bisa melihat cahaya dalam gulita, tak bisa melihat harap dalam terpuruk.
Mungkin dengan cinta, aku akan bisa.
“Hei Shin, kapan aku akan punya keponakan?”
“Tutup mulutmu.”
P.S. Cepen ini diikutkan dalam Proyek Ulang Tahun ke-11 Nulis Buku
No comments:
Post a Comment