Julian, 38 tahun, pemilik Ladybug Cafe.
Jane merapalkan kembali mantra pagi harinya sebelum minum kopi di Ladybug. Kafe manis itu tempat favoritnya untuk minum kopi atau mencicipi cake sejak tiga tahun yang lalu, tapi baru sebulan yang lalu ia tahu kalau pemilik kafe yang nuansanya coklat-merah muda ini ternyata seorang pria. Pria yang terlihat sangat pria, berperawakan nyaris sempurna dengan kepribadian biasa. Ia melihat Julian saat perayaan ulang tahun Ladybug yang keempat, kebetulan ia diundang sebagai salah satu pelanggan setia. Saat itulah hatinya yang sering bergetar mendadak mengalami guncangan hebat bahkan sampai jungkirbalik.
“Kalau kau sudah bosan dengan si Om itu, katakan padaku,” Eric menyulut rokok seraya melirik Jane yang melotot.
“Nggak, yang ini beda. Aku nggak akan bosan dengannya dan nggak akan cepat berganti sasaran lagi. Pegang kata-kataku!”
“Kupegang erat-erat. Kalau kau mengingkarinya, pegangan ini bakal kuikat ke lehermu dan kugantung.”
“Emosi yang berlebihan, awas tekanan darahmu, Pak Tua,” Jane melambai pada adiknya yang bersungut kesal. “Aku mau memata-matai Julian.”
Ladybug terlihat sepi. Jane langsung mengambil kesempatan ini untuk duduk di dekat kasir, tempat yang sering dipantau Julian begitu datang. Gadis itu sengaja mengulur-ulur waktu saat pelayan menanyakan pesanan dan bilang sedang menunggu teman. Ia ingin lebih lama di Ladybug.
Setelah menunggu sekitar setengah jam, Julian akhirnya datang. Masuk dari pintu depan yang seluruhnya kaca, pria itu menggunakan kemeja merah muda dengan lengan tergulung hingga dekat siku, jam tangan perak, dan tatanan rambut yang disisir ke belakang dengan model acak. Sempurna dan karismatik.
Jane sampai menelan ludah.
“Bagaimana hari ini?” Julian mendekat ke kasir. Si kasir menjelaskan sesuatu yang tak terdengar di telinga Jane. Yang terlihat dan terdengar hanya wajah dan suara Julian, yang lain buram. Seperti video hitam putih dan Julian tokoh utama yang berwarna. Jane hampir tersedak saat sang pujaan hati menegurnya.
“Kau tidak memesan?”
“Apa?” Jane tergagap. “Oh, yah, tadi aku menunggu teman. Tapi sepertinya temanku tidak datang. Jadi yah, aku akan memesan sekarang. Boleh aku minta daftar menunya?”
Julian meraih satu daftar menu dari meja kasir. “Silahkan,”
Malu-malu, Jane tersenyum. “Terima kasih.”
“Aku sering melihatmu disini. Kau sangat suka kue ya?”
Tidak. “Ya, tentu saja ya.” Jane tertawa canggung.
“Bagus. Kami punya produk baru, Pancake Bola Blueberry. Kau mau?” tawar Julian. Tanpa diduga, pria itu tersenyum sangat lebar sambil menaikan satu alisnya dengan seksi. Jane takut ia kena serangan jantung.
“Dengan senang hati,” jawabnya girang.
Julian memberi kode pada pelayan untuk membawakan pancake jenis baru pada Jane. “Maaf mengganggumu, silahkan menikmati ya,” Julian pamit.
“Eh? Tidak, sama sekali tidak mengganggu! Kau bahkan boleh menemaniku mengobrol disini!” ujar Jane cepat. Julian terlihat kaget.
Jane ingin memarut mukanya sendiri. “Aku sedang tidak punya teman mengobrol, akan sangat menyenangkan bisa mengobrol dengan seseorang di pagi hari seperti ini. Itu juga kalau kau tidak keberatan dan sedang tidak ada pekerjaan.” Untungnya, Julian malah tersenyum sambil mengulurkan tangannya, yang dengan segera membuat jantung Jane melesak ke perut.
“Julian.”
Jane sudah menunggu-nunggu momen yang tingkat kemustahilannya seperti mimpi ini. Dan thank to God, Jane sudah mempersiapkan senyum andalannya.
“Jane.”
“Nah Jane, terima kasih sudah jadi pelanggan setia kami.” Julian berpaling pada pelayannya yang membawakan Pancake Bola Blueberry ke meja. “Silahkan dicicipi, kalau tidak enak akan kukasih gratis.”
Jane mencicip pancake. “Ini enak sekali!”
“Benarkah? Kau tamu pertama yang mencicipinya,” Julian tersenyum.
“Well, Julian, aku penggemarmu.”
“Apa?”
“Aku penggemarmu. Kumohon jangan berpikir yang aneh-aneh, aku memang senang melihat dan memperhatikanmu. Dan yah, aku tidak ingin terus-terusan jadi paparazi.”
Sejenak Julian terpana. “Kau bercanda?”
Jane menggeleng. “Aku serius.”
Selama beberapa saat, Julian hanya termangu menatap Jane yang terang-terangan menyatakan ketertarikan padanya. Jane terkehut saat Julian balik tersenyum dan hanya tersenyum tanpa berkata-kata.
Julian, 38 tahun, pemilik Ladybug Cafe, punya senyum setara dewa, perhatian luar biasa, barisan giginya rapi dan putih.
Selang lima hari dari kedatangan terakhirnya, Jane baru datang lagi ke Ladybug. Ia ingin memberi jarak, memberi kesan pada Julian bahwa ia juga tak datang tiap hari. Pria tolol sekalipun pasti bosan kalau melihat wanita yang terus-terusan muncul di depan matanya. Hari ini Jane mengambil tempat di dekat pintu, tempat Julian biasanya muncul dengan pose khayangan. Pagi tadi Eric memujinya karena tahan membuntuti seseorang lebih dari sebulan. Ini memang diluar kebiasaan tapi Jane justru menikmatinya. Julian berbeda.
“Ha-lo,”
Julian muncul di depan Jane, memasukkan kedua tangannya ke saku celana sambil tertawa. Wajah Jane bersemu. Melamun! Julian memergokinya sedang melamun. Bagus. Harusnya ia membawa parutan mulai sekarang.
“Oh hai,” sapa Jane.
“Boleh aku mengganggu acara minum kopimu?” tanya Julian.
“Kau pemilik tempat ini, kau bebas duduk dimana saja,” canda Jane.
Saat Julian duduk di hadapannya, jantung Jane sudah menggelepar. Pria ini, pria pertama yang bisa membuatnya berdebar begitu hebat. Jane, yang 13 tahun lebih muda dari Julian, jelas sudah terpikat pada kematangan si pemilik kafe.
“Daddy,”
Seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, bercepol dua dengan pita ungu, masuk ke Ladybug dan menggelayut manja di pelukan Julian. Ujung-ujung jari Jane mendadak terasa dingin. Daddy. Daddy?
“Hai Sayang, kenapa kau nggak sekolah?” Julian mengecup pipi putrinya, yang langsung menjelaskan dengan cepat kalau sekolahnya libur. Julian berpaling pada Jane yang pucat.
“Jane, ini Mary, anakku,” katanya. “Mary, ini Tante Jane.”
Jane tertegun. Tangannya tersodor memainkan rambut Mary. “Halo, Gadis kecil. Salam kenal.”
“Dad, yang benar saja. Aku lupa ini hari libur nasional!” seorang anak laki-laki berusia kira-kira 12 tahun melesak ke kursi di sebelah Julian. Matanya yang tajam melotot pada Jane yang sudah kehilangan nyawa. “Kau sedang kencan, Dad? Kencan di pagi hari? Yang benar saja.”
“Jaga mulutmu, Jagoan.” Julian lagi-lagi memperkenalkan anaknya. “Jane, ini Rhean, anak pertamaku. Rhe, ini Tante Jane. Temanku.”
“Sejak kapan kau mengajak teman minum kopi bersama?” celetuk Rhean.
Julian menggeleng. “Sudah, ajak adikmu masuk. Minta apa saja yang kalian mau. Mary, jangan jauh-jauh dari kakakmu, ya!”
Jane sudah tak bisa lagi merasakan jari-jari kakinya saat kedua anak yang mengejutkan itu menghilang masuk ke dalam kafe. Meninggalkan ayah dan temannya yang terkena stroke ringan. Julian tersenyum.
“Kau terkejut, kan? Inilah aku. Aku pria dengan dua anak, empat tahun yang lalu bercerai dengan istrinya. Bukan pria lajang yang mapan dan bebas, bukan seseorang yang kau inginkan diusiamu. Kau muda, pintar, dan penuh semangat. Kau tidak harus memenuhi pikiranmu dengan beban seperti ini.”
Hati Jane remuk. Ia bisa mendengar ada bunyi ‘prek’ yang keluar dari hatinya. Ia tidak bisa berpikir. Julian tersenyum hampa, seperti merasa kalau tebakannya memang tepat. Seakan sudah banyak wanita yang terdiam dan terhenyak di posisi Jane. Apa anak-anak itu juga sengaja diseting untuk mengagetkannya? Kepala Jane mulai pusing.
Julian berdiri, masuk ke dalam kafe dan meninggalkan Jane yang terus diam hingga kopinya dingin. Cinta tak pernah terasa seberat dan sesakit ini.
Sampai di rumah, Jane tak bisa berpikir apa-apa. Tak bernafsu melakukan apa-apa selain tidur. Eric yang menertawakan tindakan menyerah kakaknya pum tak mendapat tanggapan berarti. Jane lebih dari sekedar sakit hati.
Julian, dengan perasaan bersalah dan hancur yang hampir sama, hanya menonton televisi dengan kosong saat sampai di rumah. Ia memang sudah melakukan ini sebelumnya pada beberapa wanita, tapi ekspresi Jane membuat kepalanya serasa mau pecah. Wajah Jane membayang dan Julian benci itu.
Jane dan Julian saling memikirkan sekaligus saling berusaha melupakan.
Sebulan setelah pertemuan penuh drama mereka yang terakhir, Julian melihat sebuah note di meja Jane biasa duduk. Pria itu duduk dan meraih note berisi tulisan tangan kecil.
I’m your biggest fan, i‘ll follow you until you love me. Paparazzi.
Julian terperangah. Ia menyapu seisi Ladybug dan tak menemukan Jane disana. Setengah tak percaya pada kertas di tangannya, Julian mengambil pena di meja kasir dan mulai menulis lirik lagu yang ada di kepalanya.
I’ve been looking for someone to she’d some light, not somebody just to get me through the night. I could use some direction, and i’m open to your suggestions. All i wanna do is find a way back into love.
Balasan datang dua hari setelahnya.
Aku berpikir banyak, sangat banyak tentang semuanya. Kuputuskan kalau aku bukan sekedar paparazi-mu. Aku bukan wanita kebanyakan. Apa itu cukup untuk membuatmu mengizinkanku masuk ke kafe lagi?
Julian membalasnya lagi, kali ini sambil tertawa.
Kau yang tidak mau datang, padahal aku menunggu.
Besoknya, balasan Jane ditulis dengan huruf besar dan spidol yang warnanya mencolok, membuat Julian tergelak.
I’M YOUR BIGGEST FAN! I’M YOUR PAPARAZZI!
P.S. Cerpen ini diikutkan dalam Proyek Ulang Tahun ke-11 Nulis Buku
No comments:
Post a Comment