Pukul 13.10 - Ladybug Resto
Sementara Adrian menghabiskan nasi goreng kambingnya, aku bergeser resah di sofa. Ada satu pertanyaan sebesar dunia yang harus kutanyakan padanya, tapi bagi pria perfeksionis ini, pertanyaan itu pasti terdengar dungu. Aku mengenal pria ini selama bertahun-tahun, mengenalnya lebih dari yang pernah kau tahu tentang seseorang. Ia bisa saja menggulung habis rasa malu, menggilas harga diri, dan meludahkan sepotong kalimat yang efeknya semematikan awan panas dari mulut Merapi. Pertanyaan konyol ini harus dibungkus dengan mimik cerdas.
“Apa?” Adrian mendongak dari piring, menatap langsung ke wajahku.
Tanyakan! jerit batinku. Ini aneh, kan? Menanyakan sesuatu pada kekasihmu sendiri, rasanya seperti akan menantang Tuhan. Aku kenyang dengan gejolak iri yang mencuat saat seorang wanita bisa menanyakan apapun pada kekasihnya. Dan seharusnya memang begitu. Hubunganku dan Adrian memang abnormal. Empat tahun tanpa komitmen apapun, bersama memijaki sesuatu yang tak jelas statusnya, tapi seminggu yang lalu manajer salah satu perusahaan dagang terbesar di Jakarta ini memintaku menjadi istrinya.
Aku kehabisan udara saat mengiyakan lamarannya.
Dan disinilah aku seminggu kemudian. Berhasrat menanyakan sesuatu yang mendesak dan penting, tapi enggannya luar biasa. Sekarang aku bisa duduk sebagai Riifa, kekasihnya. Tapi siapa yang tahu beberapa menit lagi aku akan meringkuk seperti bayi yang kurang perhatian.
“Aku harus kembali ke kantor sekarang. Rapat setengah jam lagi, disusul studi lapangan di Bogor. Aku akan kembali besok sore, jadi kita nggak bisa makan siang bersama.” Adrian terburu-buru mengelap mulutnya.
Rapat dan pertemuan. Studi lapangan. Klien penting dan klien super penting. Mana ada hal sepele kalau berhubungan dengan pekerjaan hebatnya. Kurasa lamarannya seminggu yang lalu itu ada di list paling bawah daftar prioritasnya. Dia toh melamarku di dalam mobil, saat aku hendak turun di bawah gerimis, saat satu kakiku bergantung di luar sementara yang lain terpaku di bawah dashboard. Tak ada moment spesial, tak ada lilin dan cincin.
“Hei, kau bisa kembali ke kantor sendiri, kan Rii?”
Kenapa aku mau menjadi istrinya?
Adrian menatap jam tangannya dengan gusar. “Rii, kau nggak mendengarkanku? Aku sudah terlambat. Demi Tuhan, kau sedang melamun?”
Aku tidak siap menjadi istrinya.
“Adri, kurasa kita harus-” tangan Adrian terangkat, hampir tepat di depan wajahku.
“Halo? Ya, ini aku. Aku sedang makan siang. Apa? Hei, kau harus bisa nego dan membujuknya. Dia salah satu klien besar yang akan menanamkan modal…,” Adrian berjalan menjauh, satu tangannya masuk di saku celana.
Apa dia baru saja memotong kalimatku dan mengobrol di telpon setelah sebelumnya mengangkat tangan untuk menyuruhku diam? Apa sekarang dia sedang mengabaikanku?
“Kenapa kau mau menikah dengannya?”
Pertanyaan Moca, sahabatku tiba-tiba memantul-mantul seperti bekel keparat di kepala. Gemanya seperti menertawakan keputusan bodohku. Keputusan gamang. Jawaban ‘Iya’ yang singkat, diucapkan lewat mulut ternganga dan ekspresi tolol kelas satu. Kupandangi punggung Adrian yang tegap dari tempatku duduk.
Aku mencintainya. Aku mencintai pria yang sedang menelpon itu. Aku mencintai pria menyebalkan yang bicaranya menyakitkan itu, yang mendewakan pekerjaannya itu, yang meletakkan aku dalam urutan paling bawah tujuan hidupnya itu. Tapi aku sama sekali tak tahu apakah pria berhati karang itu juga mencintaiku.
Ini bodoh.
“Rii, aku harus cepat pergi.” Adrian meraih mantel hitamnya dengan cepat dari sandaran sofa, mengusap-mengacak rambutku selama dua detik, kemudian merogoh kunci Nissan Terrano-nya di saku celana.
“Kenapa kau mau menikahiku?”
Selama sejenak kami terpaku.
“Apa?”
“Kenapa kau mau menikahiku?”
“Apa kau baru saja menanyakan alasanku memintamu menjadi istriku?” tanya Adrian pelan, jelas dia sendiri meragukan pendengarannya. Meragukan kalau kekasihnya bisa menelurkan pertanyaan semacam itu.
“Kau mendengarku,” ujarku mantap.
Untuk pertama kalinya dalam empat tahun kebersamaan kami yang semu, kulihat Adrian termangu dalam raut kebingungan. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri, menyapu meja tempat makan siang kami tanpa melihat ke arahku. Diletakkannya mantel pada pegangan sofa.
Aku terkejut saat Adrian kembali duduk, bukannya mengataiku bodoh dan sederet tindakan anarkis keji yang mungkin dilakukannya. Dari balik kacamatanya, kulihat mata coklat itu bergetar.
“Kau marah, Rii?” tanya Adrian akhirnya.
“Kenapa pertanyaanku barusan kau artikan marah?” tantangku. Apa memang selama ini aku selalu menjadi si Pasrah, hingga satu pertanyaan terlontar saja diartikan seperti ada yang salah? Sepertinya ya.
Adrian buka suara. “Kau itu… cewek hebat.”
Aku terdiam.
“Sial, aku nggak menyangka akan mengatakan ini, tapi,” Adrian memelankan suaranya. “Sudah sejak empat tahun yang lalu aku tahu kau adalah cewek mandiri yang setia pada prinsipmu. Kau peka dan perasa, kau bisa mengimbangiku meski aku selalu menjadi pendosa.”
“Dari dulu aku berpikir… kalau kau bisa menjadi ibu yang hebat untuk anak-anakku.”
….
“Kau polos, baik hati, dan jujur. Kau itu sesederhana Matahari, hanya diam dan terus menyinari sementara aku, si Bumi terus berputar tiada henti. Kau nggakpernah memelukku tapi aku merasa kau selalu merangkulku. Kau nggak pernah berhenti menyebut namaku dalam doamu, kan?”
….
“Kau boleh menyebutku gila, tapi aku bahkan nggak menyangka kau mau bertahan dalam hubungan tanpa komitmen selama empat tahun ini. Aku gemetar memintamu menjadi istriku, kau tahu. Ini langkah terbesar dalam hidupku.”
….
Kalimat terakhir Adrian yang kudengar adalah, “Rii, jangan bengong!”
Aku tertawa. Menertawakan diriku sendiri.
“Kau nggak sedang berpikir membatalkan lamaranku, kan?”
Ya Tuhan.
Kurasakan gerombolan air mata mulai mendesak naik, memenuhi pelupuk mataku. Kalau selama ini air mata begitu bernafsu menertawakan kebodohanku, kini air mata yang merebak terasa hangat dan melegakan. Tenggorokanku sakit. Dadaku sesak oleh wajah, nama, dan kelakukan pria ini.
Calon ayah dari anak-anakku.
Aku mungkin banyak sakit hati. Aku melewati beberapa kali cerita cinta yang mengenaskan dan tak semulus yang orang bicarakan. Aku mungkin menjadi yang terbodoh saat menuang tangis, mendengar lagu melow yang miris.
Tapi, aku ini si Optimis.
Aku tahu kelak pendampingku akan datang. Belahan jiwaku. Dengan cara yang teraneh sekalipun-seperti saat ini-dia pasti datang. Pria yang yakin akan menghabiskan masa tuanya bersamaku, membiarkan perutnya bergantung pada masakanku, membiarkan aku bergelayut dan berkeluh kesah di pundaknya. Pria yang mempercayakan anak-anaknya padaku, mempercayakanku melahirkan anak-anaknya.
Inilah aku, si Melankolis.
Dan inilah Adrian, calon suamiku yang-ternyata-manis.
Bersambung… (?)
Sementara Adrian menghabiskan nasi goreng kambingnya, aku bergeser resah di sofa. Ada satu pertanyaan sebesar dunia yang harus kutanyakan padanya, tapi bagi pria perfeksionis ini, pertanyaan itu pasti terdengar dungu. Aku mengenal pria ini selama bertahun-tahun, mengenalnya lebih dari yang pernah kau tahu tentang seseorang. Ia bisa saja menggulung habis rasa malu, menggilas harga diri, dan meludahkan sepotong kalimat yang efeknya semematikan awan panas dari mulut Merapi. Pertanyaan konyol ini harus dibungkus dengan mimik cerdas.
“Apa?” Adrian mendongak dari piring, menatap langsung ke wajahku.
Tanyakan! jerit batinku. Ini aneh, kan? Menanyakan sesuatu pada kekasihmu sendiri, rasanya seperti akan menantang Tuhan. Aku kenyang dengan gejolak iri yang mencuat saat seorang wanita bisa menanyakan apapun pada kekasihnya. Dan seharusnya memang begitu. Hubunganku dan Adrian memang abnormal. Empat tahun tanpa komitmen apapun, bersama memijaki sesuatu yang tak jelas statusnya, tapi seminggu yang lalu manajer salah satu perusahaan dagang terbesar di Jakarta ini memintaku menjadi istrinya.
Aku kehabisan udara saat mengiyakan lamarannya.
Dan disinilah aku seminggu kemudian. Berhasrat menanyakan sesuatu yang mendesak dan penting, tapi enggannya luar biasa. Sekarang aku bisa duduk sebagai Riifa, kekasihnya. Tapi siapa yang tahu beberapa menit lagi aku akan meringkuk seperti bayi yang kurang perhatian.
“Aku harus kembali ke kantor sekarang. Rapat setengah jam lagi, disusul studi lapangan di Bogor. Aku akan kembali besok sore, jadi kita nggak bisa makan siang bersama.” Adrian terburu-buru mengelap mulutnya.
Rapat dan pertemuan. Studi lapangan. Klien penting dan klien super penting. Mana ada hal sepele kalau berhubungan dengan pekerjaan hebatnya. Kurasa lamarannya seminggu yang lalu itu ada di list paling bawah daftar prioritasnya. Dia toh melamarku di dalam mobil, saat aku hendak turun di bawah gerimis, saat satu kakiku bergantung di luar sementara yang lain terpaku di bawah dashboard. Tak ada moment spesial, tak ada lilin dan cincin.
“Hei, kau bisa kembali ke kantor sendiri, kan Rii?”
Kenapa aku mau menjadi istrinya?
Adrian menatap jam tangannya dengan gusar. “Rii, kau nggak mendengarkanku? Aku sudah terlambat. Demi Tuhan, kau sedang melamun?”
Aku tidak siap menjadi istrinya.
“Adri, kurasa kita harus-” tangan Adrian terangkat, hampir tepat di depan wajahku.
“Halo? Ya, ini aku. Aku sedang makan siang. Apa? Hei, kau harus bisa nego dan membujuknya. Dia salah satu klien besar yang akan menanamkan modal…,” Adrian berjalan menjauh, satu tangannya masuk di saku celana.
Apa dia baru saja memotong kalimatku dan mengobrol di telpon setelah sebelumnya mengangkat tangan untuk menyuruhku diam? Apa sekarang dia sedang mengabaikanku?
“Kenapa kau mau menikah dengannya?”
Pertanyaan Moca, sahabatku tiba-tiba memantul-mantul seperti bekel keparat di kepala. Gemanya seperti menertawakan keputusan bodohku. Keputusan gamang. Jawaban ‘Iya’ yang singkat, diucapkan lewat mulut ternganga dan ekspresi tolol kelas satu. Kupandangi punggung Adrian yang tegap dari tempatku duduk.
Aku mencintainya. Aku mencintai pria yang sedang menelpon itu. Aku mencintai pria menyebalkan yang bicaranya menyakitkan itu, yang mendewakan pekerjaannya itu, yang meletakkan aku dalam urutan paling bawah tujuan hidupnya itu. Tapi aku sama sekali tak tahu apakah pria berhati karang itu juga mencintaiku.
Ini bodoh.
“Rii, aku harus cepat pergi.” Adrian meraih mantel hitamnya dengan cepat dari sandaran sofa, mengusap-mengacak rambutku selama dua detik, kemudian merogoh kunci Nissan Terrano-nya di saku celana.
“Kenapa kau mau menikahiku?”
Selama sejenak kami terpaku.
“Apa?”
“Kenapa kau mau menikahiku?”
“Apa kau baru saja menanyakan alasanku memintamu menjadi istriku?” tanya Adrian pelan, jelas dia sendiri meragukan pendengarannya. Meragukan kalau kekasihnya bisa menelurkan pertanyaan semacam itu.
“Kau mendengarku,” ujarku mantap.
Untuk pertama kalinya dalam empat tahun kebersamaan kami yang semu, kulihat Adrian termangu dalam raut kebingungan. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri, menyapu meja tempat makan siang kami tanpa melihat ke arahku. Diletakkannya mantel pada pegangan sofa.
Aku terkejut saat Adrian kembali duduk, bukannya mengataiku bodoh dan sederet tindakan anarkis keji yang mungkin dilakukannya. Dari balik kacamatanya, kulihat mata coklat itu bergetar.
“Kau marah, Rii?” tanya Adrian akhirnya.
“Kenapa pertanyaanku barusan kau artikan marah?” tantangku. Apa memang selama ini aku selalu menjadi si Pasrah, hingga satu pertanyaan terlontar saja diartikan seperti ada yang salah? Sepertinya ya.
Adrian buka suara. “Kau itu… cewek hebat.”
Aku terdiam.
“Sial, aku nggak menyangka akan mengatakan ini, tapi,” Adrian memelankan suaranya. “Sudah sejak empat tahun yang lalu aku tahu kau adalah cewek mandiri yang setia pada prinsipmu. Kau peka dan perasa, kau bisa mengimbangiku meski aku selalu menjadi pendosa.”
“Dari dulu aku berpikir… kalau kau bisa menjadi ibu yang hebat untuk anak-anakku.”
….
“Kau polos, baik hati, dan jujur. Kau itu sesederhana Matahari, hanya diam dan terus menyinari sementara aku, si Bumi terus berputar tiada henti. Kau nggakpernah memelukku tapi aku merasa kau selalu merangkulku. Kau nggak pernah berhenti menyebut namaku dalam doamu, kan?”
….
“Kau boleh menyebutku gila, tapi aku bahkan nggak menyangka kau mau bertahan dalam hubungan tanpa komitmen selama empat tahun ini. Aku gemetar memintamu menjadi istriku, kau tahu. Ini langkah terbesar dalam hidupku.”
….
Kalimat terakhir Adrian yang kudengar adalah, “Rii, jangan bengong!”
Aku tertawa. Menertawakan diriku sendiri.
“Kau nggak sedang berpikir membatalkan lamaranku, kan?”
Ya Tuhan.
Kurasakan gerombolan air mata mulai mendesak naik, memenuhi pelupuk mataku. Kalau selama ini air mata begitu bernafsu menertawakan kebodohanku, kini air mata yang merebak terasa hangat dan melegakan. Tenggorokanku sakit. Dadaku sesak oleh wajah, nama, dan kelakukan pria ini.
Calon ayah dari anak-anakku.
Aku mungkin banyak sakit hati. Aku melewati beberapa kali cerita cinta yang mengenaskan dan tak semulus yang orang bicarakan. Aku mungkin menjadi yang terbodoh saat menuang tangis, mendengar lagu melow yang miris.
Tapi, aku ini si Optimis.
Aku tahu kelak pendampingku akan datang. Belahan jiwaku. Dengan cara yang teraneh sekalipun-seperti saat ini-dia pasti datang. Pria yang yakin akan menghabiskan masa tuanya bersamaku, membiarkan perutnya bergantung pada masakanku, membiarkan aku bergelayut dan berkeluh kesah di pundaknya. Pria yang mempercayakan anak-anaknya padaku, mempercayakanku melahirkan anak-anaknya.
Inilah aku, si Melankolis.
Dan inilah Adrian, calon suamiku yang-ternyata-manis.
Bersambung… (?)
No comments:
Post a Comment