Suatu hari, aku hadir di acara kelas anak sulungku yang kini duduk di kelas 6 SD. Zach, anakku seorang ketua kelas yang terampil dan lincah hingga gerak-geriknya selalu jadi perhatian. Semua orang ingin punya anak sepertinya. Tapi aku, ibunya sendiri malah duduk dan mengikuti acara dengan enggan. Aku harus bolos kerja demi ini.
Acara dimulai dengan melukis bersama. Zach menggambarkan kepalaku seperti kentang busuk yang penyok sana sini, tapi bagian terindah adalah bibirku yang dibuat sedang tersenyum lebar dengan tinta merah tebal. Selanjutnya para orangtua disuruh melompat karung menuju ke arah anaknya di seberang. Saat anak-anak lain berteriak menyuruh ibunya melompat lebih cepat, kudengar Zach berteriak, “Nggak apa-apa, Mommy. Jangan buru-buru, nanti badanmu luka!”
Acara terakhir sesi yang paling tenang dan dilakukan di dalam aula. Ada banyak barisan bunga dalam pot-pot kecil. Bunga berbagai jenis yang rata-rata mekar penuh dan menyembulkan semburat warna warni. Kami diberitahu kalau bunga-bunga itu nantinya akan dipilihkan oleh anak masing-masing dan diberikan pada ibunya. Aku melirik Zach, memberi kode dengan yakin bahwa anakku pasti akan memberikan bunga terindah untuk ibunya. Zach membalas tatapanku sambil tersenyum kecil.
Satu persatu anak maju dan memilih bunga dalam pot kemudian berjalan menuju ibu mereka. Kulihat tetanggaku, Carol mendapat bunga mawar besar yang cantik dari Scarlet putrinya. Orang di depanku tertawa mendapatkan bunga matahari di dalam pot tinggi yang susah payah di bawakan anak laki-lakinya. Anakku Zach, yang memang absen terakhir mendapat giliran paling akhir. Di meja besar tinggal tersisa 5 pot, yang rata-rata bunganya tak terlalu cantik. Semua bagus dan terlihat sama. Kecuali satu pot kecil di ujung, yang bahkan daunnya hampir rontok semua.
Zach berjalan dengan mantap, dibarengi dengan tatapan mengikuti dari seluruh orangtua yang anaknya telah selesai melaksanakan tugas. Kami bersama-sama melihat Zach berdiri dengan tegap, memegangi dagunya dan terlihat berpikir keras. Akhirnya, dia selesai, mengangguk, kemudian membawa sebuah pot ke arahku. Seisi aula, terutama aku terkejut bukan main.
Pot dengan bunga terjelek yang letaknya paling ujung.
Anakku, yang notabene adalah anak paling pintar di kelas dengan bangga dan tersenyum lebar membawakanku bunga paling tak menarik sedunia. Sementara Zach meneteng bunga dan menuju ke arahku, kurasakan wajahku memerah malu. Apa yang sedang dilakukan anakku? Kenapa dia memilih bunga jelek dan kering itu untuk ibunya sementara teman-temannya berlomba memilih yang terbaik?
Aku hanya diam saat Zach mengangsurkan pot kecil itu padaku.
“Untukmu,” katanya girang.
“Kenapa bunga kering yang hampir mati begini?” aku berusaha menekan suara, malu, dan keherananku. Kutatap Zach yang matanya malah berbinar.
Zach melebarkan senyumnya lagi, membuatku terperangah. “Karena bunga ini lebih butuh Mommy. Dia yang paling butuh kasih sayang Mommy.”
Air mata yang tak kurencanakan jatuh, tumpah begitu saja dan mengaburkan pandanganku untuk melihat anak sulungku yang hatinya luas ini. Aku tak menyangka dia berpikir sejauh itu. Betapa dia berpikir kalau bunga yang nyaris tak bisa bertahan ini butuh aku.
“Mommy, jangan menangis,” kudengar Zach berkata saat aku memeluknya.
Terima kasih, Tuhan. Terima kasih.
P.S. Terinspirasi dari salah satu cerita Chicken Soup
No comments:
Post a Comment