"Aku dan diriku, seperti selembar kertas. Satu, rapat, dan mustahil dipisahkan, tapi bertolak belakang dan beda arah. Aku dan diriku, tak berjarak dan setubuh, tapi beda letak dan terasa jauh. Aku dan diriku, bukti lain kalau Tuhan mampu menciptakan gejolak dan kerumitan luar biasa dalam satu hembusan."
Itulah aku dan diriku. Aku tidak memiliki cukup daya atas diriku sendiri, seringkali hilang kendali atas diriku sendiri. Aku dan diriku sendiri. Aku senang memisahkan bagian itu, nyawa lain itu, dan menyebutnya bukan bagian dari aku. Aku adalah aku, yang seringnya dikalahkan oleh diriku. Kadang aku menertawakan diriku sendiri, kadang diriku sendiri menertawakanku. Kami satu tapi tak menyatu. Kami seirama meski tak sama, selangkah meski tak searah.
Aku memiliki cukup kekuatan untuk bangkit dari terseok, sementara diriku sendiri hanya berdiri dan menang. Aku memiliki cukup kekuatan untuk sekedar memaafkan, sementara diriku sendiri membangun tembok setinggi semesta untuk dirinya sendiri. Aku hampir selalu kalah darinya dan seringkali menangis untuk bisa mengalahkannya. Mengalahkan diri sendiri lama kelamaan jadi beban yang menyiksa.
Semakin banyak waktu yang terbuang, semakin aku sadar kalau melawan diriku sendiri adalah perbuatan paling sia-sia. Lebih sia-sia dari duduk merenung tanpa makna, lebih sia-sia dari membagi cinta pada yang tak ingin cinta. Aku ingin berdamai dengannya. Berdamai dengan diriku sendiri dan memaafkan segalanya.
Aku dan diriku, seperti selembar kertas di buku. Apabila aku hilang, diriku juga hilang. Aku terkoyak, diriku juga terkoyak. Aku terhapus, diriku kehilangan jalur cerita. Kami berlawanan, tak saling berhadapan. Tapi aku dan diriku, halaman penting dari sebuah buku. Aku dan diriku, seperti satu halaman itu, selamanya tak akan pernah beradu. Aku dan diriku, bersama melangkahi waktu. Memecah semu.
No comments:
Post a Comment