Kita Memecah Udara

Hujan deras. Wajah Moly mulai berkerut, hidungnya mengerucut sebal. Tangannya berlipat di depan dada, menatap Rendra yang pasrah pada amukannya. Ini hari yang sudah mereka tunggu-tunggu, hari Minggu kosong yang ternyata muram. Moly yang sudah berdandan habis-habisan menghentakkan kaki dengan kuat ke lantai. Rendra berusaha meraih tangan mulusnya, tapi Momo berderap pergi dan mengunci diri di kamar.
            
“Mo, kita pergi minggu depan, ya?” bujuk Rendra.
            
“Tinggalkan aku sendiri!” teriak Moly.
           
Rendra mundur perlahan, melesak ke sofa di ruang tengah. Hujan terlihat tak mau berhenti. Jendela kaca besar yang membatasi ruang tengah dan halaman belakang bergetar, butiran hujan yang terbawa angin menjatuhi kaca dengan berisik. Tiba-tiba suara geledek besar menggelegar. Moly berteriak dari dalam kamar dan langsung melompat ke dalam pelukan Rendra. Bahunya bergetar.
           
“Oke, aku memelukmu karena takut. Ini bukan berarti kita baikan,” gumam Moly sebal dari balik dada Rendra. Yang dipeluk hanya mengangkat bahu sambil menahan tawa.
            
“Aku tahu kau tertawa,” celetuk Moly.
            
“Nggak. Kenapa juga harus tertawa?”
            
Tak lama, Moly tertidur dalam pelukan Rendra. Di ujung mata Moly, Rendra melihat titik air mata. Air mata yang sudah sangat dikenalnya. Rendra mengecup pipi Moly, mendekapnya lebih erat, dan ikut tidur.
            
“Sudah terang! Sudah terang!”
            
Rendra mengerjap saat Moly menarik-narik kaosnya dengan girang. Benar saja. Cuaca diluar sudah terang dan hangat, titik air hujan menggantung di dedaunan. Rendra tersenyum. Ia tahu tak mungkin hari khusus ini batal hanya karena hujan. Ia tahu tak mungkin hari spesial ini urung terjadi.
          
Ia tahu Tuhan tak mungkin tega.
          
Mobil segera melaju di jalanan yang licin, Moly tersenyum di sepanjang perjalanan. Rendra lega. Ia paling tak bisa melihat Moly menangis.
          
“Toko bunga! Aku mau beli bunga!” kata Moly.
          
Rendra menepi ke sebuah toko bunga kecil dan Moly langsung memilih dengan serius. Rendra mengawasi sambil melihat-lihat. Matanya terpaku pada sebatang lily putih cantik. Dadanya berdenyut menyakitkan.
          
“Aku mau lily ini,” Moly menyodorkan sebuket lily putih kepada pelayan. Moly dan Rendra kembali menembus jalan yang sepi. Aroma lily menyeruak di dalam mobil.
          
Mereka sampai di sebuah padang ilalang yang dipenuhi oleh bunga-bunga liar. Moly berlari meninggalkan Rendra, menghilang di balik ilalang yang tinggi. Rendra melihat Moly tersenyum, berdiri di depan sebuah makam, menyodorkan sebuket lily. “Mommy, selamat ulang tahun!”
          
Rendra tersenyum. “Cleo, selamat ulang tahun,”
          
Angin lembut bertiup, membelai nisan dan rambut Moly yang beterbangan. “Aku dan Daddy bertengkar gara-gara hujan.”
          
“Bukan bertengkar Cle, anakmu yang marah padaku,” ralat Rendra.
          
“Tapi Daddy memang membuatku kesal,” protes Moly.
          
“Iya, iya. Daddy memang menyebalkan.”
          
Moly memeluk nisan ibunya dengan erat. “Aku bahagia lho, Mommy. Daddy bahagia. Kami bahagia. Kau juga harus bahagia disana.”
          
Rendra mengelus nisan, membayangkan kepala dan rambut ikal hitam istrinya. “Aku dan Moly baik-baik saja. Kami bisa melewati apapun, kau tahu. Bahkan setiap hari ada saja yang kami tertawakan.”
          
“Itu benar,” sahut Moly bersemangat. “Kau tahu, Mommy? Aku bahkan ikut kelas menari! Aku dan Daddy sering menari di halaman belakang dengan banyak lilin romantis.”
          
“Yah, setelah itu anakmu ini sering minta gendong,” timpal Rendra.
          
“Lalu Mom, aku mulai menanam bunga-bunga favoritmu dulu. Di belakang rumah, kau pasti bisa lihat dari sana, bunga sudah mulai bermekaran dan banyak kupu-kupu yang datang.”
          
“Dia sedang jatuh cinta, Cle,”
          
“Nggak. Aku nggak sedang jatuh cinta kok,” wajah Moly memerah. “Daddy, berhenti menggodaku. Mom, lihat pria ini! Kenapa sih kau mau menikah dengannya?”
          
Rendra tertawa. “Kalau kami nggak menikah, kau nggak akan ada disini, Nona Kecil!”
          
Moly berdiri kemudian memeragakan gerakan tarinya. “Lihat Mom, angkat kaki kanan, berputar, kemudian melompat ke segala arah sesuai irama yang kau dengar. Satu, dua, satu, dua…”
          
Rendra terbahak. “Pantatmu terlalu berat.”
          
“Coba saja kalau kau bisa!” tantang Moly.
          
Rendra menggulung lengan kemejanya dengan cepat dan memeragakan geakan Moly dengan kikuk. Moly tertawa geli sampai perutnya sakit. Ia belum pernah melihat ayahnya bertingkah sebodoh itu.
          
“Ajak Mommy menari,” kata Rendra.
          
Moly mengangguk. Tangan kecilnya langsung memegang nisan Cleo, satu tangannya bebas bergerak meliuk-liuk. Rendra melakukan hal yang sama. Mereka melompat-lompat, serbuk bunga yang halus beterbangan di sekitar mereka.
          
Rendra menarik nafas dalam.
           
Tuhan, sungguh aku bahagia. Aku menari, melepaskan semua beban. Aku pernah bilang ingin terus bisa menggenggam tangan dan menari bersama Cleo, aku ingin kami selalu bisa memecah udara dengan perasaan bahagia. Aku memang tak sedang menari bersama Cleo, tapi aku bersama pecahan dirinya. Ini sudah sangat membahagiakan. Tuhan, terima kasih.
          
“Daddy, nyanyikan lagu kenanganmu bersama Mommy!” kata Moly disela tawa dan tariannya yang aneh.
          
Rendra mengangguk sambil tersenyum lebar.
           
“Oh lihat kita bertaburan bunga-bunga, kupu-kupu saling menyapa, mengajak kita terbang bersama kesana, menari di atas sana, melantunkan lagu cinta, menari-nari asmara…”



P.S. Cerpen ini diikutkan dalam Proyek Ulang Tahun ke-11 Nulis Buku

No comments:

Post a Comment