Ibuku, Sebongkah Kue Manis dari Surga

"Seperti perih yang mengerak di hati, seperti itulah ibuku yang setia bersemayam meski kadang kusakiti."


Ibuku. Wanita ini, lebih sering berselisih denganku ketimbang aku dengan diriku sendiri. Ia sama sekali tidak memulai apapun, aku yang banyak berontak dan heran dengan segala yang ia lakukan untukku. Aku banyak protes, menganggapnya mengucilkanku, mengecilkan dan mengabaikanku, dan hal-hal penuh prasangka semacam itu. Aku tumbuh dengan perasaan bangga dan sayang yang meluap padanya, sekaligus gunungan gondok hati yang tak tersalurkan. Tersalurkan tapi selalu salah sasaran. Entah kenapa aku hobi mendebatnya. Kami tidak berdebat hebat seperti di drama atau sinetron, ibuku juga tidak pernah berteriak, aku bahkan tidak pernah menunjukkan kalau aku mendebat, hanya saja kami sama-sama tahu ada sesuatu yang hanya aku dan ibuku yang mengerti. Hanya kami yang memahami.

Ada semacam luka berbalut praduga keji yang kadang menyembul ke permukaan dan membuatku muak. Aku mati-matian melawannya. Aku tidak suka pertengkaran, aku jarang berteriak dan membantah. Tapi mungkin itulah yang jadi pangkal masalah. Aku menderita sendiri, luka sendiri. Sementara ibuku, yang hatinya luar biasa itu, selalu bisa kembali dan tersenyum, membuat semuanya terlihat baik-baik saja. Di tiap situasi sulit yang kami hadapi, ibuku yang pertama mengulurkan tangan dan menjangkauku. Dengan sepiring kue hangat di tangan, wanita cantik itu merayuku, "Kak, makan kue di depan, yuk!". Tiap kali itu terulang, aku merutuki diri. Anak macam apa aku ini.

Hari ini, aku tahu kalau dari seluruh orang di dunia, ibuku adalah orang yang paling percaya padaku. Ia percaya pada hati, pikiran, dan kemampuanku. Ia percaya aku bisa berada di tempat yang semestinya meski harus jatuh berkali-kali lebih dulu. Ia percaya aku adalah salah satu yang terbaik yang ia punya. Ia lebih dari sahabat yang mendengarkanku, lebih dari teman yang merangkulku, lebih dari pembaca yang mencintai tulisanku. Hari ini aku tahu, ibuku memang kado termanis dari Tuhan.

Aku menyayanginya. Hanya mengingat nama dan semua hal yang dilakukannya saja membuatku menangis sampai sesak. Ibuku yang sabar dan hobi tertawa pada lelucon tidak lucu, ibuku yang pintar masak dan pindang dagingnya super enak, ibuku yang mencintai anak-anaknya dengan kasih sayang tak hingga. Terbesar yang pernah kurasakan. Ibuku, yang meski sering kali kuanggap berjarak, nyatanya sangat dekat. Aku yang selalu tidak pandai merasakannya.

Ibuku, yang menganggap aku, anak perempuan satu-satunya, bisa menggenggam dunia.

Ibuku, sebongkah kue manis dari Surga.

No comments:

Post a Comment